Bahwa pada era keterbukaan informasi publik saat ini, peradilan haruslah dijalankan secara kredibel dan transparan, terlebih terhadap aspek-aspek yang berkaitan informasi publik. Adanya transparansi dan kredibilitas merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan keterbukaan dan akuntablitas penyelenggaraan peradilan yang baik. Aspek keterbukaan informasi publik pula merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam rangka mewujudkan visi Mahkamah Agung untuk badan Peradilan Indonesia yang Agung. Dasar visi mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agung tersebut dapat kita temui dalam cetak biru Mahkamah Agung 2010-2035. Dijelaskan dalam cetak biru pembahruan Mahkamah Agung tersebut, bahwa untuk dapat terwujudnya badan Peradilan Indonesia yang Agung, maka lembaga tersebut haruslah berprinsip pada orientasi pelayanan publik yang prima, dan memiliki manajemen informasi yang menjamin akuntabilitas, kredibilitas, serta transparansi.
Melalui keterbukaan informasi publik tersebut juga, Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya terus berusaha untuk konsisten dalam memperbaiki kredibilitas, dan citra kelembagaannya di mata publik. Upaya menjaga kredibilitas dan citra lembaga Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya antara lain dilakukan dengan peningkatan-peningkatan pada aspek pelayanan publik, kejelasan sistem karir, pemanfaatan sistem informasi teknologi, dan publikasi putusan-putusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Peningkatan upaya-upaya tersebut tidak lain sebagai wujud pertanggungjawaban publik. Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban pada publik, adanya transparansi juga akan berpengaruh pada internal Mahkamah Agung dan lembaga Peradilan di bawahnya sendri utamanya dalam hal terbangunnya etos kerja yang baik dan kepercayaan akan sistem karir pengemban kepentingan di dalam badan peradilan itu sendiri.
Transparansi dan kredibilitas merupakan upaya masif Mahkamah Agung dalam melakukan reformasi Birokrasi di lingkungan Mahkamah Agung RI dan empat lingkungan peradilan dibawahnya. Hal tersebut diantaranya sebagaimana telah diimplementasikan dalam SK KMA No.144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi dalam Rangka Mewujudkan Akuntabilitas Penyelengaraan Peradilan, serta SK KMA RI No.1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan. Selain itu, transparansi dan keterbukaan informasi publik tersebut sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Komisi Informasi RI No.1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik.
Sejalan hal di atas, Pengadilan Negeri Sigli saat ini terus senantiasa berupaya untuk meningkatkan kreatifitas dan inovasinya dalam rangka mengoptimalkan keterbukaan informasi publik di Pengadilan agar terciptanya pelayanan publik yang prima. Beberapa upaya peningkatan aspek keterbukaan informasi tersebut antara lain dilakukan dengan memanfaatkan website Pengadilan Negeri sebagai saranan penyampaian informasi berbasis digital, adanya inovasi-inovasi fungsi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), optimalisasi sistem informasi penulusuran perkara, pemanfaatan E-SKUM, pembayaran biaya panjar perkara melalui mesin Electronic Data Capture (EDC) di meja layanan PTSP, pemanfaatan pengaduan masyarakat melalui aplikasi Sistem Informasi Pengawasan Mahkamah Agung (SIWAS MA-RI), dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Bahwa selain hal di atas, demi mewujudkan efektifitas dan efisiensi pelayanan, Pengadilan Negeri Sigli juga telah meluncurkan program pelayanan One Day Service. Pelayanan one day service tersebut diantaranya telah diterapkan dalam pelayanan dibagian kepaniteraan Pidana, Kepaniteraan Perdata, dan Kepaniteraan Hukum. Pada Kepaniteraan Pidana, pelayanan one day service antara lain dilakukan terkait, pelimpahan perkara pidana dan penetapan hari sidang, pemberian izin penyitaan dan penggeledahan perkara pidana, dan perpanjangan penahanan oleh Penyidik dan Penuntut Umum. Pada Kepaniteraan Perdata, pelayanan one day service antara lain dilakukan terkait pendaftaran perkara gugatan biasa, gugatan sederhana, perlawanan/bantahan, verzet atas putusan verstek, perkara permohonan, permohonan banding, kasasi dan peninjauan kembali, serta layanan-layanan lain yang berhubungan dengan proses dan informasi penyelesaian perkara perdata. Sedangkan pada Kepaniteraan Hukum, pelayanan one day service antara lain dilakukan terkait permohonan pendaftaran pendirian CV, waarmaking surat-surat, pembuatan surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana, pendaftaran surat kuasa, penanganan pengaduan/SIWAS-MARI, dan layanan-layanan lainnya yang berhubungan dengan pelayanan jasa hukum.
Bahwa dengan adanya pelayanan one day service tersebut, maka terhadap pelayanan-pelayanan publik tersebut wajib diselesaikan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang telah ditetapkan, dengan jangka waktu rata-rata maksmimalnya kurang dari satu jam sejak diajukan/dimohonkan. Pelayanan one day service pada hakikatnya dilaksanakan sebagai bentuk upaya mempermudah masyarakat, aparatur penegak hukum, dan aparat pada instansi lainnya dalam hal memperoleh persetujuan/izin penyitaan dan penggeledahan dari Pengadilan. Penerapan pelayanan one day service tersebut pula, pada dasarnya sejalan dengan arah kebijakan Ketua Mahkamah Agung dalam rangka memberikan pelayanan pada publik yang efektif dan efisien, serta prima.
Selain daripada itu, Pengadilan Negeri Sigli juga telah secara konsisten dan berkala menyampaikan informasi-informasi, yang antara lain meliputi:
- Gambaran umum Pengadilan yang, antara lain, meliputi: fungsi, tugas, yurisdiksi dan struktur organisasi Pengadilan tersebut serta telepon, faksimili, nama dan jabatan pejabat Pengadilan non Hakim;
- Gambaran umum proses beracara di Pengadilan;
- Hak-hak pencari keadilan dalam proses peradilan;
- Biaya yang berhubungan dengan proses penyelesaian perkara serta biaya hak-hak kepaniteraan sesuai dengan kewenangan, tugas dan kewajiban Pengadilan;
- Putusan dan penetapan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
- Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang belum berkekuatan hukum tetap dalam perkara-perkara tertentu;
- Agenda sidang pada Pengadilan Tingkat Pertama;
- Mekanisme pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan Hakim dan Pegawai;
- Hak masyarakat dan tata cara untuk memperoleh informasi di Pengadilan.
Seluruh hal di atas, tidak lain dilakukan demi terwujudnya visi Pengadilan Negeri Sigli untuk menjadi Badan Peradilan Indonesia Yang Agung, dan juga demi mewujudkan misinya dalam menjaga kemandirian badan peradilan, memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan, meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan, dan meningkatkan kredibiltas dan transparansi badan peradilan.
Pelayanan Publik dalam setiap Instansi atau kelembagaan Pemerintah di Negara Republik Indonesia terus ditingkatkan dan di permudah. Saat ini, Mahkamah Agung dan jajaran Pengadilan di bawahnya senantiasa berupaya menata, meningkatkan, dan menyederhanakan pelayanan publik dengan cara menerapkan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (selanjutnya disebut “PTSP”). Melalui PTSP ini Mahkamah Agung ingin memberikan pelayanan prima dalam hal pelayanan publik yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap awal sampai akhir/terbitnya sebuah dokumen dilakukan di dalam satu tempat. Wujud keseriusan Mahkamah Agung dan jajaran Pengadilan di bawahnya terhadap penerapan PTSP tersebut dilakukan dengan dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 77/DJU/SK/HM02.3/2/2018 tentang Pedoman Standar Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pada Pengadilan Tinggi Dan Pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri Sigli sebagai lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung, sejak sekitar bulan Februari tahun 2018 sudah mulai menerapkan standar PTSP sesuai Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 77/DJU/SK/HM02.3/2/2018 tentang Pedoman Standar Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pada Pengadilan Tinggi Dan Pengadilan Negeri. PTSP tersebut dilakukan dengan memberikan pelayanan yang terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap awal sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan pengadilan melalui satu pintu. Penyelenggaraan PTSP ini senantiasan dilaksanakan dengan prinsip-prinsip dasar berupa keterpaduan, efektif, efisien, ekonomis, koordinasi, akuntabilitas, dan aksesibilitas. Ruang lingkup PTSP di Pengadilan Negeri Sigli ini meliputi seluruh pelayanan administrasi yang menjadi lingkup kompetensi/kewenangannya sebagaimana diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026/KMA/SK/II/2012 tanggal 9 Februari 2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan dan peraturan perundangan lainnya yang berlaku.
Penerapan PTSP sendiri tidak lain memiliki tujuan untuk: 1) Mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, transparan, terukur sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, 2) Memberikan pelayanan yang prima, akuntabel, dan anti korupsi, kolusi, nepotisme. Selain itu, aspek penting dilaksanakannya program PTSP ini merupakan wujud dari pelayanan publik yang prima dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan atau kebutuhan-kebutuhan yang diselenggarakan oleh lembaga Pengadilan terhadap seluruh masyarakat yang mencari keadilan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Secara umum Prosedur PTSP dilaksanakan melalui tahapan berikut: 1) Pemohon mengambil nomor antrian yang telah disediakan, 2) Pemohon wajib memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan untuk setiap layanan peradilan yang dimohonkan dan merupakan dasar untuk pemrosesan serta penyelesaian permohonan layanan, 3) Petugas PTSP mencatat, memverifikasi dan meneruskan kelengkapan berkas/dokumen ke backoffice untuk diproses sesuai SOP yang telah ditentukan. Khusus untuk pengadilan-pengadilan dengan jumlah perkara banyak agar menyediakan petugas verifikasi kelengkapan syarat-syarat sebelum diajukan ke meja PTSP.
Pelaksanaan program PTSP ini sangatlah diperlukan komitmen oleh seluruh Pimpinan dan Aparatur Pengadilan secara terintegrasi dalam pelaksanaanya. Oleh sebab itu dalam rangka mewujudkan keberhasilan pelaksanaan PTSP tersebut, maka haruslah terdapat kualifikasi tertentu dalam hal standarisasi pelayanan yang harus dimiliki oleh seluruh petugas PTSP, yang antara lain sebagai berikut: 1) Memahami Standar Layanan Pengadilan, prosedur administrasi maupun prosedur beracara di Pengadilan untuk setiap jenis perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri, 2) Memahami profil pengadilan seperti struktur organisasi dan persidangan, peraturan, keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, 3) Memiliki kemampuan mengoperasikan komputer, 4) Memiliki kemampuan komunikasi yang baik, bersikap sopan dan ramah, serta berpenampilan rapi.
Jakarta – Humas : Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH. MH. Dalam segala kesempatan dan pembinaan senantiasa menyampaikan bahwa salah satu persyaratan untuk mewujudkan Court Excellence adalah Pimpinan Pengadilan yang memiliki kualitas / kompetensi dan integritas tinggi. Oleh sebab itu proses pembinaan dan pengawasan serta seleksi Calon Pimpinan Pengadilan pada 4 lingkungan Badan Peradilan harus mendapatkan perhatian yang proporsional.
Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum, Dr. Herri Swantoro, SH. MH. Secara continue dan konsisten menyelenggarakan uji kelayakan atau Fit and Proper test bagi Calon Pimpinan Pengalilan Negeri Kelas IA dan Kelas IA Khusus berdasarkan analisis kebutuhan. Fit and proper test diselenggarakan mulai tanggal, 28 – 31 Januari 2018 dengan mendasarkan pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 48 /KMA/SK/II/2017 Tentang Pola Mutasi dan Promosi Hakim.
Dalam proses fit and proper test peserta ujian dituntut dan harus mendapat nilai layak dan lulus dari profile assessment atau psikotes dan materi ujian : a. Visi , misi , wawasan serta integritas; b. kemampuan teknis hukum ; c. administrasi dan layanan pengadilan ; d. menejerial dan kepemimpinan dan e. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Fit and Proper test diikuti oleh 45 peserta yaitu para Ketua dan mantan Ketua Pengadilan kelas I B, sementara kuota atau formasi yang tersedia sangat terbatas.
Dalam fit and proper test semua peserta wajib melalui tahap profile assessment atau psikotes yang dilakukan oleh pihak eksternal yaitu PPSDM. Menurut PPSDM, Profile Assissmen Psikologi adalah adalah kegiatan terstruktur dan sistematis untuk mengukur dan menganalisa guna mengetahui dan memahami aspek aspek Psikologi dan perilaku seseorang ( kemampuan berfikir, cara kerja, karakter, motivasi dan sejenisnya ) dan membandingkan atau mencocokan dengan persyaratan Psikologi / perilaku pada jabatan tertentu dalam hal ini jabatan Pimpinan Pengadilan Negeri Kelas IA dan IA Khusus.
Materi ujian Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dilakukan oleh Badan Pengawasan. Materi ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat ketaatan dan kepatuhan peserta terhadap prinsip : adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, integritas tinggi, tanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati dan professional. Dengan menjiwai nilai atau prinsip universal dan mendasar tersebut diharapkan seorang pemimpim mampu megatakan dan melakukan perbuatan yang benar adalah benar, mampu menyampaikan sejujurnya, melaksanakan dan menerapkan hukum dengan benar sehingga dipercaya, serta memiliki kecerdasan spiritual , moral, akal.
Pada prinsipnya ujian yang sebenarnya sebagai Pimpinan Pengadilan tidak hanya pada seleksi Calon Pimpinan, melainkan pada saat menjalankan sebagai Pimpinan Pengadilan sesuai dengan formasi yang dibutuhkan. Pimpinan pengadilan dituntut untuk memiliki kecerdasan dan integritas tinggi dalam menerapkan prinsip prinsip hukum dan peraturan perundang-undangan serta juga harus memperhatikan nilai-nilai loyalitas, kearifan local / local wisdom yang didukung oleh prinsip independensi.
Menejemen dan leadership dimaksudkan untuk memperoleh informasi bahwa peserta mengerti dan memahami administrasi dan berbagai layanan yang dilakukan pengadilan, karena setelah dinyatakan lulus akan ditugaskan untuk memimpin dan mengelola Pengadilan. Seorang pemimpin yang diharapkan adalah Pemimpin yang mengerti prinsip organisasi dan menejemen. Pimpinan pengadilan harus menguasai administrasi perkara , umum, keuangan dan kepegawaian serta Teknologi Informasi.
Pemimpin yang memahami prinsip menejemen akan mampu membuat perencanaan yang baik dan relevan, baik sarana maupun prasarana, mampu menggerakkan semua pegawai atau staf untuk meningkatkan kinerja, mampu menginstruksikan dan menerapkan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan jabatan dan job description , mampu menyusun laporan, mampu melakukan pengawasan dan mengevaluasi kinerja serta memberikan contoh disiplin dan ketauladanan atau role model yang baik. Pemimpin yang baik tidak mudah mengeluh dan mohon petunjuk tetapi akan senantiasa belajar dan selalu mengutamakan prinsip kehati-hatian, baik dalam ucapan perbuatan serta dalam memutuskan segala sesuatu.
Pimpinan pengadilan merupakan pimpinan yang khas dan berbeda dengan organisasi / institusi yang lain. Pimpinan pengadilan juga dituntut menguasai dan terampil berbagai teknis yuridis dan praktek hukum yaitu : Hukum pidana umum dan khusus, perdata umum dan khusus, hukum acara pidana umum dan khusus, hukum acara perdata umum dan khusus , serta tentang konsignasi maupun eksekusi berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Citra dan wibawa Mahkamah Agung akan terwujud jika para Pimpinan memiliki kompetensi dan integritas tinggi. Semua Calon Pimpinan Pengadilan Tingkat Pertama pada semua kelas dan Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding lingkungan Badan Peradilan Umum ditentukan melalui fit and proper test demi mewujudkan dan menjunjung tinggi obyektivitas, transparansi dan akuntabilitas.
Kalangan akademisi menilai Peraturan Mahkama Agung (PERMA) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi diperkirakan masih menimbulkan persoalan dalam praktik. Sebaliknya, kalangan aparat penegak hukum, seperti Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan mengaku optimis PERMA Kejahatan Korporasi ini pengadilan ini dapat diterapkan secara efektif.
Mantan Ketua Tim Kelompok Kerja (Pokja) MA Penyusunan PERMA Kejahatan Korporasi Prof Surya Jaya mengatakan meski sejumlah Undang-Undang (UU) sejak lama bisa menjerat korporasi yang diduga melakukan tindak pidana. Namun, selama ini aparat penegak hukum belum memiliki visi, pemahaman, dan pedoman yang sama dalam upaya menjerat korporasi jahat.
Karena itu, terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi ini diharapkan dapat mengatasi segala kendala dan kesulitan aparat penegak hukum dalam upaya menjerat korporasi selama ini,” kata Prof Surya Jaya di ruang kerjanya, Selasa (17/1) lalu.
Dia mengaku optimis PERMA Kejahatan Korporasi ini dapat diterapkan secara efektif dalam praktik. Sebab, pengaturan PERMA Kejahatan Korporasi ini sudah cukup baik guna melengkapi peraturan yang sudah ada dalam upaya menindak korporasi jahat. “Materi PERMA ini sudah pas, jadi saya pikir tidak kendala menerapkan aturan ini. Tinggal butuh komitmen dan pemahaman yang sama saja,” kata dia.
Dia mengingatkan kehadiran PERMA Kejahatan Korporasi ini tidak melulu berorientasi pada penghukuman. Justru, terbitnya PERMA ini untuk memberi kepastian dan perlindungan hukum terhadap korporasi yang baik. Tentu, kehadiran PERMA ini sekaligus mendukung terciptanya prinsip good corporate governance.
“Kalau merasa pengelolaan korporasi itu baik, tidak perlu takut dihukum. Ini hanya guidance (pedoman) agar pengelolaan korporasi menjadi lebih baik dan bisa memberi kontribusi bagi masyarakat dan negara. Jadi, sebenarnya PERMA ini sangat baik bagi korporasi dalam upaya pencegahan,” jelasnya.
Meski begitu, bagaimanapun terhadap korporasi-korporasi “nakal” ini tetap harus dihukum sepanjang bisa dibuktikan actus reus dan mens rea pengurus korporasinya. Namun, mesti diingat bisa saja pengurus korporasi melakukan tindak pidana hanya menguntungkan kepentingan pribadinya, bukan menguntungkan korporasi, maka korporasi tidak bisa dipidana.
“Meski ada teori identifikasi, perbuatan (niat) jahat pengurus otomatis menjadi tanggung jawab korporasi sepanjang ada keterkaitan dan kepentingan korporasi. Ini kan case by case, sehingga dibutuhkan kehati-hatian dan kecermatan aparat penegak hukum untuk menentukan siapa yang sebenarnya paling bertanggung jawab.”
1. Pengantar
Sejak Tahun 2011 melalui Keputusan No. 142/KMA/SK/IX/2011 Tahun 2011, Ketua Mahkamah Agung telah memberlakukan sebuah kebijakan pemberlakuan sistem kamar pada Mahkamah Agung. Dengan sistem kamar ini hakim agung dikelompokan ke dalam lima kamar yaitu perdata, pidana, agama,tata usaha negara dan militer. Hakim agung masing-masing kamar pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar. Hakim agung kamar perdata hanya mengadili perkara perdata saja dan hakim agung kamar pidana hanya mengadili perkara pidana saja.Demikian pula hakim agung kamartata usaha negara hanya mengadili perkara tata usaha negara.Pada masa lalu sebelum sistem kamar berlaku, hakim agung lingkungan tata usaha negara juga mengadili perkara-perkara perdata atau majelis hakim agung – lazimnya terdiri atas seorang ketua dan dua orang anggota – yang kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama dapat mengadili perkara perdata. Dengan system kamar, tidak lagi diperkenankan majelis hakim agung yang kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama mengadili perkara perdata, tetapi seorang hakim agung dari lingkungan peradilan agama hanya dapat menjadi anggota majelis atau ketua majelis untuk mengadili perkara perdata bersama-sama dengan dua hakim agung lain dalam kamar perdata. Mengapa hakim agung dalam kamar agama masih dibolehkan mengadili perkara perdata didasari oleh pertimbangan bahwa jumlah perkara perdata sangat besar sedangkan jumlah hakim agung dalam kamar perdata masih belum mencukupi untuk mampu mengadili perkara secara tepat waktu sehingga masih memerlukan bantuan tenaga dari kamar lain, yaitu hakim agung kamar agama yang jenis perkara yang diadili masih berdekatan dengan jenis perkara dalam kamar perdata. Demikian pula, hakim agung kamar militer dapat ditugaskan untuk mengadili perkara dalam kamar pidana karena masih terdapat kedekatan jenis perkaranya. Bantuan tenaga untuk kamar perdata dan kamar pidana dari kamar-kamar lain yang jenis perkaranya mirip masih diperlukan karena jumlah perkara kasasi perdata dan pidana yang diajukan ke Mahkamah Agung setiap tahunnya lebih tinggi daripada kamar-kamar lainnya, sehingga jumlah tunggakan perkara dapat ditekan.
Penempatan hakim agung dalam sebuah kamar didasarkan pada keahlian mereka.Keahlian antara lain dapat dilihat dari bidang studi ilmu hukum yang dikaji ketika mengambil program S2 atau S3 atau pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti. Penempatan hakim agung karir yang berasal dari lingkungan peradilan umum ke dalam kamar perdata atau kamar pidana pada dasarnya merupakan diskresi dari Ketua Mahkamah Agung Ketua Mahkamah Agung dengan melihat rekam jejak seorang hakim agung dapat menentukan kamar yang tepat dan sesuai bagi seorang hakim agung. Setiap kamar dipimpin oleh Ketua Kamar yang sebelum sistem kamar diberlakukan disebut juga sebagai Ketua Muda.Meskipun kebijakan pemberlakukan sistem kamar ini secara formal dicanangkan pada tahun 2011, implementasinya dilakukan secara bertahap.
2. Mengapa Perlu Sistem Kamar
Salah satu kritik yang dialamatkan pada Mahkamah Agung olehpara pencari keadilan pada umumnya dan para pemerhati peradilan pada khususnya adalah bahwa putusan-putusan majelis hakim agung dalam perkara-perkara kasasi atau PK yang permasalahan hukumnya sejenis atau serupa ternyata putusannya berbeda. Pada hal Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan tertinggi kehakiman yang melalui putusan-putusannya diharapkan mampu memberikan arahan atau panduan kepada pengadilan di bawahnya dalam memutus permasalahan hukum. Namun , fungsi ini tidak dapat sepenuhnya dijalankan sehingga muncul ungkapan Mahkamah Agung dengan pelbagai wajah aliran putusan dalam perkara-perkara sejenis. Permasalahan ini disadari oleh pimpinan Mahkamah Agung sehingga upaya untuk mengatasinya menjadi salah satu agenda dalam program pembaruan peradilan sebagaimana tercantum dalam “Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2014.
Terjadinya perbedaan putusan untuk perkara-perkara kasasi yang permasalahan hukumnya sejenis atau serupa dapat terjadi karena banyaknya jumlah perkara kasasi yang diajukan kepada Mahkamah Agung sehingga perkara-perkara itu harus diadili oleh beberapa majelis hakim agung. Tiap majelis hakim agung yang biasanya terdiri atas seorang ketua dan dua orang anggota majelis bekerja secara terpisah atau mandiri. Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi yang tiap perkara diadili oleh pleno hakim konstitusi sehingga keteraturan dan konsistensi relatif dapat dijaga. Oleh sebab itu, adalah alamiah jika antara satu majelis dengan majelis lainnya pada Mahkamah Agung dalam mengadili perkara-perkara yang sejenis ternyata putusannya berbeda karena praktik hukum pada dasarnya mengandalkan interpretasi terhadap norma hukum dan fakta yang terungkap dalam persidangan. Selain itu, rumusan ketentuan atau norma undang-undang yang sering ambigu sehingga menimbulkan multi interpretasi atau adanya pertentangan antar norma, atau norma yang tidak tuntas telah mendorong lahirnya pelbagai putusan di pelbagai tingkatan yang tidak mencerminkan konsistensi atau keteraturan hukum yang tentunya mengecewakan para pencari keadilan.
Meskipun perbedaan putusan hakim agung dapat terjadi karena faktor alamiah interpretasi, ketidakjelasan rumusan norma atau pertentangan antar norma dalam peraturan perundang-undangan, kenyataan ini tidak dapat dibenarkan dari sudut ilmu hukum sebab hukum yang mengatur masyarakat semestinya memiliki karakter yang sama dengan hukum fisika, yaitu mengandung sebuah keteraturan atau keajegan atau kepastian. Adalah menjadi tugas hakim untuk membuat jelas norma yang tidak jelas melalui putusan atas sebuah perkara. Hukum fisika selalu memperlihatkan adanya keteraturan dan kepastian, misalkan air jika dipanaskan pasti mendidih dan menguap atau air jika mencapai derajad terendah tertentu pasti membeku. Dimana pun dan kapan pun, air akan memperlihatkan sifat-sifat seperti itu. Hukum yang mengatur masyarakat atau perilaku subjek hukum semestinya juga memiliki sifat keteraturan, keajegan dan kepastian itu. Misalkan, jika asas hukum mengatakan bahwa setiap pembeli benda tidak bergerak yang beriktikad baik wajib memperoleh perlindungan hukum, walaupun ternyata belakangan diketahui bahwa penjual bukan pihak yang berhak atas benda yang diperjual belikan, maka semua majelis hakim dalam berbagai tingkat peradilan wajib menerapkan asas ini dalam mengadili perkara-perkara yang salah satu atau lebih pihaknya dianggap sebagai pembeli beriktikad baik. Adalah menjadi tugas majelis hakim agung untuk mengoreksi atau memperbaiki putusan hakim bawahan jika ternyata putusan hakim bawahan telah melanggar asas hukum perlindungan terhadap pembeli beriktikad baik.Sebaliknya, jika dalam sebuah perkara pembeli beriktikad baik dilindungi tetapi dalam perkara lainnya pembeli beriktikad baik tidak memperoleh perlindungan hukum, maka dalam situasi seperti ini terjadi ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, atau ketidakteraturan hukum sebaliknya yang terjadi adalah kekacauan hukum.
Di dalam tradisi “common law” keteraturan, keajegan, keadilan dan kepastian hukum dibangun dengan merujuk prinsip stare decisis yaitu “like cases should be decided alike” (perkara yang sejenis atau mirip harus diputus dengan putusan yang mirip pula). Berdasarkan prinsip stare decisis, hakim dalam mengadili sebuah perkara harus mempedomani precedent, yaitu putusan hakim yang lebih tinggi yang telah membuat putusan atas kasus yang serupa pada masa lalu. Meskipun sistem hukum Indonesia tidak menganut doktrin stare decisis tetapi terjadinya perbedaan putusan dalam perkara-perkara yang mirip atau serupa tidak dapat dibenarkan pula karena hal itu bertentangan dengan rasa keadilan, kepastian hukum dan keteraturan hukum. Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental, dikenal konsep yang disebut “legal uniformity” (kesatuan hukum). Sistem Peradilan Indonesia yang merupakan penganut sistem hukum Eropa Kontinental tentu harus pula membangun kesatuan hukum agar hukum Indonesia, khususnya praktik peradilan Indonesia menghasilkan putusan yang konsisten atau teratur sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum dapat mewujud.
3. Rapat Pleno Kamar: Forum Menyatukan Pandangan Hukum Para Hakim Agung
Sejak pemberlakuan sistem kamar pada Mahkamah Agung, masing-masing kamar secara periodik menyelenggarakan rapat pleno kamar.Rapat pleno kamar berfungsi sebagai forum bagi para hakim agung untuk membahas penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum yang belum ada kesamaan pendapat di antara para hakim agung.Di dalam rapat pleno ini, para hakim agung berdebat atau adu pendapat untuk mencapai kesatuan pendapat atau pandangan hukum tentang penyelesaian sebuah permasalahan hukum. Pada kenyataannya adalah tidak mudah bagi para hakim agung menyatukan pendapat. Ketidakmudahan untuk mencapai kesatuan pendapat bersumber dari adanya pandangan bahwa setiap majelis atau bahkan setiap hakim agung yang memeriksa dan memutus perkara pada dasarnya adalah mandiri (independent). Pandangan bahwa hakim adalah mandiri memang mengandung sebuah kebenaran dan keniscayaan, tetapi jika nilai dasar kualitas hakim itu digunakan sebagai dasar untuk penolakan upaya mencapai suatu kesatuan pendapat hukum, maka argumen itu dapat membahayakan upaya mewujudkan kesatuan hukum dalam sistem peradilan Indonesia. Kemandirian hakim mesti diartikan sebagai hakim bebas dari pengaruh lain pada waktu mengadili sebuah perkara. Sebaliknya, perdebatan dalam kamar adalah upaya mencapai kesepakatan pendapat terhadap norma yang masih kabur, penuh multi tafsir, terlalu umum perlu eloborasi, atau pertentangan norma dalam undang-undang. Misalkan, kembali kepada contoh terkait asas hukum bahwa pembeli beriktikad baik harus dilindungi, semua hakim agung atau hakim pada umumnya mengakui asas tersebut karena sudah turun temurun dikuliahkan oleh para dosen di fakultas hukum sejak dulu, tetapi persoalan yang muncul adalah pada detilnya, yaitu apakah kriteria pembeli beriktikad baik. Oleh karena itu, dalam sebuah majelis mungkin saja terdapat kesamaan pendapat dalam hal konsep umum tetapi berbeda pendapat dalam hal elaborasi atau detilnya. Rapat pleno kamar diharapkan dapat menjembatani para hakim agung untuk mencapai kesamaan pendapat tidak saja dalam hal konsep dasar tetapi juga detil atau perwujudan atau eloborasi dari konsep dasar itu. Namun demikian, kekuatan mengikat putusan kamar terhadap setiap hakim agung adalah bersifat moral dan tidak ada konsekuensi hukum apapun, sesuai Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 142/KMA/SK/IX/2011 pada angka 8: ”Putusan Rapat Pleno Kamar sedapat-dapatnya ditaati oleh majelis hakim.”
Ketidakmudahan lain untuk mempersamakan pendapat hakim agung bersumber pada putusan-putusan terdahulu yang tidak dapat diakses dengan mudah melalui website Mahkamah Agung karena tidak semua putusan-putusan terdahulu yang mengandung pandangan hukum berbeda berbeda atas permasalahan hukum yang sama telah diungguh ke dalam website atau tersedia dalam bentuk kopi lunak. Untuk mempersatukan pendapat di antara para hakim agung yang sekarang tentu diperlukan untuk membaca dan memahami “reason” dalam putusan-putusan dari majelis-majelis hakim agung terdahulu, sehingga dengan demikian hakim agung generasi sekarang dapat mengambil sikap atau pandangan atas pandangan yang berbeda di antara para pendahulu. Oleh sebab itu, keberhasilan sistem kamar perlu didukung oleh manajemen peradilan berbasis teknologi. Selain itu, teknologi informasi juga diperlukan untuk mengakses perkembangan terbaru peraturan perundang-undangan dan ringkasan karya-karya atau pandangan hukum para sarjana yang mungkin relevan digunakan untuk menjadi rujukan dalam putusan. Terlepas dari adanya tantangan-tantangan untuk mencapai kesatuan pendapat para hakim agung, sejak pemberlakuan sistem kamar, masing-masing kamar telah menghasilkan kesepakatan tentang kaidah-kaidah hukum atas sejumlah permasalahan hukum yang telah dipublikasikan oleh Sekretariat Kepaniteraan Mahkamah Agung, sehingga hakim bawahan dan masyarakat pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya dapat memahami rumusan kaidah hukum hasil rapat kamar. Fakta ini tentunya merupakan sebuah kemajuan dalam kaitan dengan upaya membangun sebuah kesatuan hukum (legal uniformity).
4. Rapat Pleno Antar Kamar
Tantangan bagi sistem peradilan Indonesia menghasilkan kesatuan hukum adalah juga bersumber pada sistem peradilan Indonesia yang mengenal lebih dari satu lingkungan peradilan. Oleh karena itu, tidak jarang permasalahan hukum yang terjadi berada pada titik singgung kewenangan mengadili antara dua lingkungan peradilan, misalkan antara peradilan umum dan peradilan agama terkait budel waris yang telah dijual atau titik singgung antara peradilan umum dan peradilan tata usaha negara terkait sengketa kepemilikan dan keputusan tata usaha negara tentang bukti kepemilikan. Untuk mengatasi permsalahan titik singgung kewenangan antar dua lingkungan peradilan ini, rapat pleno kamar diadakan.
5. Penutup
Terjadinya perbedaan putusan-putusan majelis hakim agung untuk perkara-perkara yang mengandung permasalahan hukum sejenis atau serupa merupakan hambatan bagi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. Sistem kamar merupakan upaya untuk mengatasi hambatan itu sehingga sistem peradilan Indonesia dapat mewujudkan kesatuan hukum. Kesatuan hukum diperlukan karena para pencari keadilan dalam berbagai perkara akan memperoleh penyelesaian yang serupa untuk permasalahan hukum yang serupa sehingga terdapat perlakuan sama. Agar sistem kamar dapat memenuhi fungsinya, diperlukan pula dukungan manajemen perkara yang berbasis teknologi guna mengakses putusan-putusan terdahulu serta perkembangan peraturan perundang-undangan dan ringkasan karya-karya tulis para sarjana. Satuan Kerja di bawah Mahkamah Agung, terutama Pusat Penelitian Pengembangan Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan Pelatihan Hukum dan Peradilan perlu meneliti dan mengkaji pula secara periodik untuk mengetahui sejauhmana kesatuan hukum telah dapat diwujudkan sejak pemberlakuan sistem kamar.