SOBANDI
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung
Pendahuluan
Mahkamah Agung (MA) selama 10 tahun terakhir telah melaksanakan transformasi digital untuk “memanjakan” masyarakat dalam mengakses layanan pengadilan. Sebut saja e-court dan e-Berpadu yang disediakan oleh MA bagi masyarakat untuk mengkases keadilan kapan saja, dimana saja, dan biaya yang murah. Pimpinan MA memberikan apresiasi atas perubahan tersebut seraya “bermimpi” kiranya akan terjadi pula perubahan pada budaya kerja dari seluruh aparatur peradilan.
Dalam hal kedua perubahan dimaksud “ada” di MA maka tidaklah berlebihan jika dinyatakan bahwa MA telah berhasil menjadikan lembaga peradilan sebagai epicentrum of justice, suatu tempat yang melahirkan keadilan yang selama ini “didam-idamkan” oleh masyarakat, pencari keadilan. Oleh karena itu, Prof. Dr. H.M. Syarifuddin, S.H.,M.H., Ketua MA saat ini meminta seluruh aparatur peradilan untuk berlomba-lomba menciptakan inovasi pelayanan berbasis Teknologi Informasi (TI) yang bermanfaat bagi masyarakat. “Berkreasilah, ciptakan yang terbaik, jika inovasi itu bagus dan bermanfaat, bisa dijadikan aplikasi nasional”, begitulah pesan dalam pidato Beliau.
Sebagaimana kita ketahui bersama, TI memberikan kemudahan di hampir seluruh sektor kehidupan belakangan ini. Tidak hanya merambah dunia industri dan usaha, kemudahan ini juga “menembus dinding” sektor pemerintahan yang mendorong sisi birokrasinya untuk merubah diri menjadi efisien dan sederhana. Beginilah situasi dan kondisi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia saat ini, yang seolah-olah memiliki kemampuan untuk menerka secara akurat (disrupsi) tentang pemenuhan kebutuhan di masa mendatang. Pertanyaannya, apakah MA dapat menerka apa kebutuhan masyarakat dalam dunia peradilan di masa depan dan bagaimana cara untuk memenuhinya?
Disrupsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disrupsi memiliki arti hal yang tercabut dari akarnya. Apabila ditarik ke fenomena saat ini maka disrupsi diartikan sebagai keadaan dimana terjadi suatu perubahan yang besar, yang menyebabkan berubahnya sebagian besar atau bahkan keseluruhan tatanan dalam kehidupan masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan dalam KBBI, Era Disrupsi adalah masa dimana perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan karena adanya inovasi yang begitu hebat sehingga mengubah sistem dan tatanan kehidupan masyarakat secara luas. Kata disrupsi ini pertama kali diperkenalkan oleh Clayton Christensen melalui bukunya yang berjudul The Innovator’s Dilemma, pada tahun 1997.
Rhenald Kasali pada tahun 2017 menulis Buku berjudul “Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber”. Menurut Rhenald, Disruption is a theory to predict the future, where the new things (distruptive) make the old ones obsolete (Terjemahan: Disrupsi adalah sebuah teori untuk memprediksi masa depan, dimana hal-hal baru menjadikan yang lama menjadi kuno). Perubahan yang begitu cepat melahirkan berbagai terobosan di banyak bidang, yang memberikan solusi efektif dan ekonomis terhadap permasalahan yang dihadapi oleh banyak orang. Beliau mencontohkan perubahan dunia bisnis transportasi pasca lahirnya Uber. Uber mampu menjawab kebutuhan banyak orang untuk mendapatkan trasnportasi dengan cara yang mudah serta murah. Model bisnis yang kebanyakan menggunakan aplikasi ini mampu memangkas banyak biaya sehingga membuat harga produk dan jasa menjadi lebih murah. Sebuah pasar baru dari masyarakat kelas bawah pun mulai terbentuk karena harga yang ditawarkan relatif lebih murah dengan kualitas yang tidak kalah.
Terdapat sejumlah peristiwa disrupsi belakangan ini. Sekarang kita mengenal go-jek yang mampu melayani kebutuhan calon penumpangnya yang tersebar luas dan menyediakan layanan jasa lain seperti pesan makanan, jasa pijat, jasa pindahan dan lain-lain yang menyebabkan ojek pangkalan (opang) terdisrupsi. Berikutnya, Grab mendisrupsi keberadaan perusahaan-perusahaan taksi, bahkan mampu melemahkan perusahaan sekelas Bluebird perusahaan taksi terbesar dan terkenal di Indonesia. Di bidang perdagangan barang, Tokopedia dan Shopee, telah mempermudah pemasok-pemasok kecil bergabung menyediakan semua kebutuhan konsumen dan banyak diantara kita yang sudah terbiasa belanja di kedua toko online tersebut. Hal ini kemudian menyebabkan supermarket konvesional terdisrupsi. Pasar lainnya adalah perubahan telegraf menjadi telepon, menjadi ponsel, kemudian menjadi smartphone adalah peristiwa disruption.
Disrupsi di Bidang Peradilan
Perubahan yang terjadi secara massive dimulai sejak munculnya revolusi industri 4.0 yang dikaitkan pada kemajuan teknologi dalam berbagai kegiatan masyarakat sehari-hari. Menurut Cowan Schwartz dalam buku Mathias Klang yang berjudul Disruptive Technology: Effect of Technology Regulation on Democracy (2006), disrupsi teknologi akan berdampak pada keadaan sosial yang ada di sekitarnya. Hal ini menuntut manusia untuk segera beradaptasi, agar tidak tertinggal oleh perubahan yang terjadi sedemikian cepat. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan telah meminta kementerian dan lembaga negara untuk bersiap menghadapi disrupsi dengan menciptakan berbagai inovasi. Kecepatan teknologi dan informasi menuntut reformasi Birokrasi pemerintahan. Karenanya efek disrupsi dirasakan merambah ke berbagai pola kerja Birokrasi dan sistem pemerintahan. Kemajuan teknologi diharapkan dapat mewujudkan terciptanya pemerintahan yang bersih, akuntabel dan efisien.
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi memiliki peran yang besar untuk dapat melakukan berbagai inovasi yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat. Sejak tahun 2018 sebelum pandemi copid 19, Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan administrasi perkara di pengadilan secara elektronik dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018, yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2019 tentang administrasi perkara dan persidangan di pengadilan secara elektronik yang kemudian dirubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022, bertujuan untuk memenuhi azas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. PERMA ini merupakan landasan dari implementasi aplikasi e-Court di dunia peradilan Indonesia. E-Court adalah sebuah instrument pengadilan sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat dalam hal pendaftaran perkara secara online (e-filing), taksiran dan pembayaran panjar biaya secara online (e-payment), , pemanggilan secara online (e-summons) dan persidangan secara online (e-litigation), mengirim dokumen persidangan (jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan). Keberadaan aplikasi e-Court diharapkan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, pelayanan terkait perkara yang dilakukan secara online tentunya dapat menghemat waktu dan biaya para pencari keadilan. Contoh nyata peran jurusita pengadilan yang dahulu menggunakan relaas panggilan dan pemberitahuan putusan terdisrupsi oleh e-summons dan kemudian oleh pos tercatat dengan biaya lebih murah dan lebih cepat.
Inovasi berikutnya adalah Elektronik Berkas Pidana Terpadu yang disingkat e-BERPADU melalui kebijakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2022 merupakan aplikasi yang meliputi berbagai macam pelayanan, berupa pelimpahan berkas perkara pidana secara elektronik, permohonan izin/persetujuan penyitaan secara elektronik, permohonan izin/persetujuan pengeledahan secara elektronik, perpanjangan penahanan secara elektronik, permohonan pembantaran penahanan secara elektronik, permohonan peangguhan secara elektronik, permohonan izin besuk tahanan secara elektronik, permohonan pinjam pakai barang bukti secara elektronik, permohonan penetapan diversi secara elektronik dan persidangan perkara pidana secara elektronik (e–criminal). Aplikasi ini bertujuan membantu dan memberikan kemudahan bagi pelaksanaan tugas pengadilan dan aparat penegak hukum terkait dalam rangka menyelenggarakan proses peradilan bagi para pihak. Aplikasi e-BERPADU tidak hanya digunakan dan dimanfaatkan oleh MA, melainkan juga digunakan dan dimanfaatkan oleh penyidik kepolisian, kejaksaan, KPK, dan penyidik lain seperti BNN atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), pentuntut umum kejaksaan dan KPK, Lembaga Pemasyakatan (LP)/Rumah Tahanan (Rutan), terdakwa atau keluarganya, advokat dan masyarakat umum lainnya terutama masyarakat pencari keadilan.
Peristiwa disrupsi pengadilan selanjutnya adalah Smart Majelis, aplikasi robotika berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk memilih majelis hakim secara otomatis, dengan menggunakan berbagai faktor antara lain pengalaman, kompetensi dan beban kerja hakim, mempertimbangkan jenis perkara yang akan diadili agar para hakim yang dipilih memiliki keahlian yang sesuai dengan perkara yang ditangani. Selain itu ada pula Court live streaming, yakni aplikasi yang memungkinkan masyarakat untuk menyaksikan pembacaan amar putusan kasasi dan penijauan kembali secara langsung melalui live streaming.
Faktor Pendukung Terjadinya Disrupsi Peradilan
Terdapat beberapa faktor penting yang menjadi pendorong terjadinya disrupsi. Pertama, pemimpin yang open minded. Mengutip pernyataan Steve Jobs, “kalau perekonomian masih tumbuh, sementara usaha anda mengalami kemunduran, itu pertanda ada lawan-lawan baru yang tidak terlihat, temukanlah, gunakan ilmunya untuk menciptakan sesuatu yang baru”. Kedua, operator/pelaksana yang milenial new mindset. Peter Drucker berpandangan bahwa new technology X oldminset = fail, gelombang ketiga atau era milineal sebuah komunitas global elektronik saat manusia begitu mudah menjangkau segala jasa dan informasi tanpa batas dan membangun komunitasnya, berinteraksi bukan berdasarkan jarak geografi melainkan karena kesamaan minat. Ketiga, kebijakan/regulasi yang mendukung disruption. Terkait hal ini Mark Zuckerberg memberikan pernyataan bahwa, “sukses pada kemampuan kita menyelaraskan iteration (membuat hal lama menjadi lebih baik – doing the some thing), innovation (membuat hal-hal baru – doing the new thing), disruption (membuat banyak hal baru sehingga yang lama menjadi ketinggalan, kuno dan tidak terpakai (doing the differently-so others will be absolute). Keempat, konsumen atau masyarakat. Pemimpin dan operator/pelaksana harus memahami apa yang disebut pain (penderitaan) dan gain (manfaat yang dicari). Keluhan pengacara kondang Hotman Paris yang menunggu jadwal persidangan berjam-jam lamnya terjawab dengan e-litigation, beliau tidak harus datang ke pengadilan hanya untuk menyerahkan surat jawaban atas gugatan. Kelima, sarana prasarana Teknologi Informasi (TI) yang mumpuni. kelima faktor tersebut merupakan elemen-elemen penting dalam mendorong suksesnya disrupsi.
Apabila kelima faktor dimaksud selanjutnya kita aplikasikan ke dalam terjadinya disrupsi di MA maka faktor nomor 2 masih menjadi kendala. Infrastruktur di MA melalui aplikasi berbasis teknologi informasi yang lengkap tentunya tidak dapat berjalan baik tanpa adanya operator, yakni sumber daya manusia yang cakap dan menguasai teknologi. Kebutuhan akan sumber daya tersebut juga bersifat full time, mengingat layanan peradilan dapat terjadi kapan saja dan dimana saja selama berlakunya jam kerja pengadilan. Dr. H. Sunarto, S.H.,M.H., WKMA Bidang Yudisial sekaligus sebagai Plt. WKMA Bidang Non Yudisial menyampaikan bahwa, “kita berada di era Revolusi Industri 5.0 (Society 5.0), bersandingnya manusia dan teknologi informasi agar berjalan beriringan, mengutip Dory Reiling (hakim Belanda) Artificial Intelegence (AI) mampu membantu individu, pihak yang berperkara, dan hakim dalam mengatur informasi namun Artificial Intelegence tidak dapat menggantikan peran hakim karena hakekatnya Artificial Intelegence hanya dapat membantu dalam memberikan nasehat dan saran saja.
Dalam menghadapi fenomena disrupsi, Hakim dan aparatur peradilan selaku operator/pelaksana, tidak boleh meninggalkan 10 prinsip pedoman perilaku hakim adil, jujur, arif bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjungjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, profesional dan 7 nilai utama peradilan, kemandirian kekuasaan kehakiman, integritas dan kejujuran, akuntabilitas, responsibilitas, keterbukaan, ketidak berpihakan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Untuk menjaga agar hakim dan aparatur peradilan memegang teguh dan mengamalkan 10 prinsip dan 7 nilai utama tersebut harus diperhatikan faktor keamanan dan kesejehteraan mereka agar tidak terancam atau tergoda oleh kekuasaan lain seperti suap, gratifikasi dan lain-lain. Kita harus kawatir jaminan keamananan hakim dan aparat peradilan tidak memadai karena lebih dari sewindu gaji pokok hakim tidak ada kenaikan dan fasilitas keamanan dan kesejahteraan hakim yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2012 belum dipenuhi semua. Kebijakan Mahkamah Agung tentang Pedoman Pemberian Jaminan Kesehatan Bagi Hakim pada Empat Lingkungan Peradilan yang Berada di Bawah Mahkamah Agung dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 184/KMA/SK.KP5.2/IX/2023 yang ditindaklanjuti oleh Sekretaris Mahkamah Agung menjadi harapan kesejateraan baru bagi para hakim.
Selain faktor keamanan dan kesejahteraan, kebutuhan akan SDM yang memiliki minat yang sama untuk membangun MA menjadi faktor penentu dapat terjadi atau tidaknya disrupsi di peradilan Indonesia. Rekrutmen hakim belum ada aturan yang jelas mekanisme penerimaannya, terakhir pada 2017 dengan mekanisme rekrutmen calon hakim, kemudian pada 2021 mekanisme melalui rekrutmen Analis Perkara Peradilan (APP) yang sampai saat ini belum diseleksi menjadi calon hakim. MA harus segera mendorong Peraturan Presiden tentang seleksi calon hakim diterbitkan.
Penutup
Paradigma disrupsi dunia peradilan Indonesia bergantung pada kesungguhan transformasi administrasi dan persidangan di pengadilan secara elektronik yang merupakan pembaruan dalam rangka mencapai cita-cita untuk mewujudkan proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, dengan tetap berpegang pada 10 prinsip pedoman perilaku hakim dan 7 nilai utama peradilan. Mewujudkan keadilan merupakan esensi dari pembentukan UU Kekuasaan Kehakiman, yakni UU No. 48 Tahun 2009. Ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman secara lugas menyatakan, “Pengadilan membantu mencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan”. Oleh karena itu Mahkamah Agung dan Pengadilan tidak boleh berhenti untuk senantiasa melakukan transformasi dalam proses peradilan. Selanjutnya paradigma tersebut menjadi terwujud apabila MA dan Pengadilan mendapatkan jaminan keamanan dan kesejahteraan yang yang memadai dan mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang cakap dan menguasai teknologi informasi serta memiliki passion yang kuat untuk membangun “industri” peradilan.
Dokumen
PARADIGMA DISRUPSI DALAM DUNIA PERADILAN INDONESIA.pdf
Sumber : www.mahkamahagung.go.id
Special and Differential Treatment (SDT) dalam Perjanjian – Perjanjian World Trade Organization (WTO) : Pendekatan Peraturan Perundang – Undangan.
Maulia Martwenty Ine, SH, MH – Ketua Pengadilan Negeri Kediri
Para Anggota WTO memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda mengenai status negara negara berkembang sebagai anggota WTO dan status SDT yang diberikan kepada negara – negara berkembang tersebut. Perbedaan pendapat dan pandangan tersebut menunjukkan dinamika dalam dunia perdagangan internasional utamanya menyangkut mengenai apa yang disebut sebagai perlakuan yang adil di antara negara – negara tersebut dalam melaksanakan perdagangan internasional. Perbedaan ini sekarang menjadi semakin tajam yang merupakan suatu permasalahan tersendiri di WTO. Definisi dari suatu negara berkembang, faktor – faktor apa saja yang membuat mereka tidak lagi dapat disebut sebagai suatu negara berkembang, manfaat SDT dan dukungan teknis serta pembangunan kompetensi merupakan beberapa tema rumit yang pernah dibahas dalam pembahasan mengenai SDT ini. Beberapa negara maju anggota WTO telah memberikan saran tentang perlunya perubahan definisi negara berkembang dalam kaitannya dengan penerapan SDT dalam perjanjian – perjanjian WTO dengan menggunakan pendekatan ekonomi dan politik. Sebagai forum tempat dilaksanakannya negosiasi perjanjian – perjanjian internasional yang bertujuan untuk mengurangi halangan halangan dalam perdagangan internasional dan sebagai forum yang memastikan terciptanya zona perdagangan bagi semua negara di dunia, WTO harus mampu untuk memberikan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi terlepas dari status konstitusinal maupun struktur sosial ekonomi negara – negara anggotanya, demikian pula bahwa WTO harus mampu mengembangkan kerjasama yang penuh perdamaian di antara negara – negara tersebut. Inisiatif dari negara-negara ini tentu saja harus didukung oleh WTO, yang mempunyai peran sebagai penjamin terlaksananya sistem perdagangan multilateral dan sebagai benteng melawan segala bentuk proteksionisme, sambil mengenali kebutuhan perkembangan, demikian pula keseluruhan hak dan kewajiban seluruh anggota. WTO diantara tugas yang lain juga harus memberikan dorongan semangat bagi seluruh anggota yang telah berpartisipasi dalam inisiatif secara plurilateral dan multilateral untuk mengambil pendekatan baru mengenai SDT dalam negosiasi di masa kini dan akan datang. WTO juga harus memastikan bahwa sengketa mengenai perjanjian – perjanjian internasional, harus diselesaikan melalui cara cara yang damai dan bersesuaian dengan prinsip – prinsip keadilan dan hukum internasional. Dengan memperhatikan semua hukum dan peraturan yang berhubungan dengan status negara berkembang sebagai anggota WTO dan penerima manfaat SDT, penulis mengambil tema “pendekatan peraturan perundang – undangan” dalam artikel ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, untuk menganalisa dan memberikan tanggapan tentang pertanyaan persyaratan apa saja yang harus dipenuhi oleh suatu negara untuk bisa disebut sebagai negara berkembang sebagai penerima manfaat SDT dalam rangka untuk mencapai tujuan utama WTO yaitu melaksanakan perdagangan terbuka bagi kepentingan semua negara di dunia.
Untuk artikel dalam bahasa inggris, silahkan klik tautan di bawah ini :
Dokumen
SPECIAL AND DIFFERENTIAL TREATMENT (SDT) IN THE WTO AGREEMENTS.pdf
CATATAN MENYONGSONG TAHUN 2023
MAHKAMAH AGUNG:
INTEGRITAS TANGGUH, KEPERCAYAAN PUBLIK TUMBUH
Sobandi-Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung
Tahun 2022 akan berlalu,
“Yang ada di Mahkamah Agung ini, yang ada di daerah, yang ada di pelosok pegunungan, yang ada ditengah laut bertugas, teruslah berjuang tegakkan keadilan itu dengan benar dan adil, sesuai dengan hati nurani, kita harus menatap masa depan yang lebih baik lagi, jadikan kejadian ini sebagai momentum untuk bangkit kembali, kita tata kembali, kita pacu”.
Pesan Ketua Mahkamah Agung untuk seluruh warga peradilan di Indonesia (28/9).
Sepanjang tahun 2022 Mahkamah Agung menorehkan beberapa prestasi yang patut dibanggakan, diantaranya menerima opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang ke 10 atas Laporan Keuangan dari Badan Pemeriksa Keuangan (22/9), Anugerah Reksa Bandha, juara 1 kategori Peningkatan Tata Kelola Berkelanjutan untuk Kelompok Kementerian/Lembaga dengan jumlah satuan kerja lebih dari 100 dari Kementerian Keuangan (23/11), anugerah Informatif Keterbukaan Informasi Publik dari Komisi Informasi Publik (14/12).
Di bidang penanganan perkara juga tidak kalah membanggakan, Mahkamah Agung telah menyelesaikan (minutasi) perkara sebanyak 30.195 perkara. Data tersebut dihimpun pertanggal 27 Desember 2022 dan masih memungkinkan bertambah hingga akhir tahun (30/12). Minutasi tersebut menjadi yang tertinggi dalam sejarah Mahkamah Agung.
Prestasi dan kebanggaan runtuh, kepercayaan publik menurun,
Di penghujung tahun 2022, tepatnya tanggal 21 September 2022 terjadi peristiwa penindakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang melibatkan beberapa pegawai dan Panitera Pengganti di Mahkamah Agung terkait dengan penanganan perkara, yang kemudian berimbas dengan ditetapkannya 2 orang Hakim Agung, 3 orang Panitera Pengganti dan 5 orang pegawai sebagai tersangka.
Tidak dapat dipungkiri, peristiwa tersebut menurunkan kepercayaan publik kepada Mahkamah Agung terutama terhadap integritas hakim, dan aparatur peradilan di Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Indikasi penurunan kepercayaan publik tersebut terlihat dati hasil Survei Penilaian Integritas yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Mahkamah Agung. Pada tahun 2021 Mahkamah Agung mendapat skor 82,72 sedang pada tahun 2022 turun skor 74,61.
Meskipun berdasarkan Survei Penilaian Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut skor Mahkamah Agung masih diatas indeks integritas nasional Indonesia tahun 2022 sebesar 72 bahkan nomor urut 1 dan yang paling dipercaya publik menurut survei Charta Politika Indonesia dengan skor 71,5 (26/11) tetapi publik tetap menuntut agar Mahkamah Agung berbenah untuk meningkatkan integritas dan mengembalikan kepercayaan publik.
Langkah yang sudah , sedang dan akan dilakukan,
Mahkamah Agung sudah memberhentikan sementara 10 orang tersangka termasuk 2 orang Hakim Agung yang pemberhentiannya diusulkan kepada Presiden. Pemberhentian sementara tersebut merupakan bentuk penghormatan dan pemberian kebebasan seluas-luasnya dalam melakukan proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan untuk aparat penegak hukum serta juga merupakan penghormatan dan kebebasan dalam melakukan pembelaaan yang seluas-luasnya untuk para tersangka dengan tetap memegang teguh asas praduga tidak bersalah.
Sehari setelah peristiwa penindakan tersebut, Ketua Mahkamah Agung langsung memimpin dan memandu pengucapan pakta integritas untuk pimpinan, Hakim Agung dan Hakim Ad-hoc pada Mahkamah Agung dengan tujuan mengingatkan dan memperkuat janji yang pernah diucapkan sebagai Hakim Agung atau Hakim Ad-hoc. Ketua Mahkamah Agung juga memerintahkan agar Panitera, Sekretaris Mahkamah Agung, pejabat Eselon 1, pejabat Eselon 2, Panitera Muda Perkara, Ketua/Kepala Pengadilan Tingkat Banding dan Tingkat Pertama , Hakim, Hakim Ad-hoc, pejabat struktural dan pejabat fungsional, seluruh pegawai dan honorer di Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya melakukan hal yang sama yaitu pengucapan kembali pakta integritas.
Ketua Mahkamah Agung sudah mengeluarkan instruksi berupa audio yang diputar dan diperdengarkan minimal 2 kali dalam seminggu di Mahkamah Agung dan Pengadilan seluruh Indonesia yang berisi intruksi berikut :
1.Menjunjung tinggi integritas serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja yang dapat merusak nama baik Mahkamah Agung dan lembaga peradilan;
2.Memegang prinsip kejujuran dan kemandirian serta menghindarkan diri dari konflik kepentingan dalam melaksanakan tugas;
3.Berperan aktif dalam mencegah terjadinya praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di lingkungan kerja masing-masing;
4.Memberikan contoh dan keteladanan yang baik bagi lingkungan kerja serta lingkungan masyarakat pada umumnya; dan
5.Patuh dan taat pada peraturan Perundang-undangan yang berlaku serta senantiasa menjalankan kode etik dan pedoman perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Mahkamah Agung sudah melakukan pemeriksaan terhadap atasan langsung dari para tersangka sesuai dengan amanat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya dan Maklumat Ketua Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim dan aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan, dengan hasil ada beberapa atasan para tersangka yang dijatuhi hukuman disiplin berupa pencopotan dari jabatan dan pernyataan tidak puas.
Mahkamah Agung sudah merespon permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melakukan rotasi dan mutasi terhadap 17 orang pegawai teknis maupun non-teknis di lingkungan Mahkamah Agung yang sudah terlalu lama bertugas di Mahkamah Agung untuk menghindarkan dan mencegah suap dengan memutus jejaring mengurus perkara para pengacara dan pihak berperkara.
Mahkamah agung juga akan memutasi dan merotasi hakim yustisial/panitera pengganti yang sudah lama bertugas di Mahkamah Agung, tetapi tertunda karena berkaitan dengan kebutuhan penggantinya yang akan direkrut tahun 2023. Mutasi dan rotasi ini akan rutin dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Peningkatan kedisiplinan dan pengawasan,
Untuk meningkatkan kedisiplinan hakim dan pegawai di Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, Mahkamah Agung melakukan modifikasi aplikasi Sitem Informasi Kepegawaian (SIKEP), presensi online hanya dapat dilakukan di lokasi koordinat kantor dan hakim atau pegawai harus berswa foto wajah sebagai bukti presensi elektronik.
Mahkamah Agung juga memberi monitor presensi di setiap ruang atasan dari Hakim dan pegawai sehingga atasan dapat dengan cepat mengecek rekam jejak presensi para hakim dan pegawai. Bahkan Ketua Mahkamah Agung dan Kepala Badan Pengawasan diberikan akses untuk memonitor presensi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 368/KMA/XII/2022 tentang Pedoman Presensi Online untuk Hakim dan Aparatur Sipil Negara pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya Melalui Aplikasi Sistem Informasi Kepegawaian.
Ke depan sedang dirumuskan aturan dan pemberlakuan presensi online untuk Hakim Agung dan Hakim Ad-hoc pada Mahkamah Agung.
Selain mendisiplikan melalui presensi kehadiran, Ketua mahkamah Agung membentuk Tim Satuan Tugas Khusus (Sasgatsus) dari Badan Pengawasan Mahkamah Agung. Mereka bertugas mengawasi di pintu keluar masuk, berkeliling ke ruangan-ruangan dan area lain untuk memeriksa keberadaan Hakim dan Pegawai, memeriksa surat ijin keluar dari atasan jika keluar kantor saat jam kerja. Mereka diberi wewenang untuk melakukan penyamaran (Mystery Shopper) guna menemukan indikasi dugaan penyimpangan atau pelanggaran hukum, etik dan integritas.
Mahkamah Agung sudah melakukan pemasangan Closed Circuit Television (CCTV) di setiap sudut kantor termasuk kantin, tempat parkir dan tempat-tempat yang rawan digunakan untuk melakukan transaksi terlarang antara pihak internal dengan pihak luar yang berpotensi melanggar hukum, etik dan integritas.
Bahkan Mahkamah Agung berencana akan membuat Pelayan Terpandu Satu Pintu (PTSP) Mandiri agar tamu dapat melayani sendiri keperluan di Mahkamah Agung dengan diberikan sarana prasana lengkap dengan dukungan teknologi informasi sehingga tamu tidak perlu lagi bertemu dengan pihak internal Mahkamah Agung.
Sebelum PTSP Mandiri ada, untuk mencegah pihak luar yang beritikad tidak baik misalnya mengurus perkara, Mahkamah Agung sudah mendatangkan tentara dari peradilan militer untuk ikut menjaga dan menerima tamu di pintu gerbang.
Langkah strategis dilakukan oleh Badan Pengawasan dengan membuka hotline BAWAS CARE, pengaduan pelanggaran yang dilakukan Hakim dan Pegawai pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya dapat dilaporkan ke nomor 0821-2424-9090, yang langsung diterima dan direspon oleh Ketua Kamar Pengawasan.
Perbaikan pola rekrutmen,
Tersentak dengan kenyataan bahwa 2 orang Hakim Agung, 3 orang Hakim Yustisial dan 5 orang Pegawai yang ditetapkan tersangka adalah di Kepaniteraan, Mahkamah Agung menyadari bahwa pola rekrutmen harus diperbaiki.
Rekrutmen untuk Hakim Yustisial, Panitera Pengganti, Panitera Muda Perkara dan Panitera pada mahkamah Agung harus mengutamakan penilaian pada nilai integritas melalui rekam jejak.
Metode yang digunakan Mahkamah Agung untuk mendapatkan rekam jejak yaitu dengan:
1.penggunaan informasi pengaduan dan pendisiplinan yang ada padaBadan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial;
2.penggunaan informasi rekam jejak oleh Badan Pengawasan;
3.pelaksanaan analisis Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau verifikasi LHKPN oleh Badan Pengawasan;
4.penggunaan informasi analisis transaksi keuangan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK);
5.penerimaan informasi dari publik terkait rekam jejak calon; dan
6.pengumpulan dan penggunaan informasi lainnya yang dipandang relevan.
Dalam proses rekrutmen itu, Mahkamah Agung melibatkan publik dan institusi eksternal yang relevan, seperti dalam kepanitiaan seleksi melibatkan 2 (dua) orang pihak eksternal yang berasal dari kalangan akademisi, pakar, atau professional.
Perbaikan rekrutmen tersebut diatur lengkap dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 349 /KMA/SK/XII/2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengisian Jabatan dan Seleksi Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Agung.
Transparansi penanganan perkara,
Mahkamah Agung sedang mengembangkan aplikasi penunjukan majelis Hakim Agung perkara kasasi dan peninjauan kembali menggunakan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) atau ROBOTIK.
Perkara kasasi atau peninjauan kembali yang masuk akan ditetapkan majelis Hakim Agungnya oleh perhitungan robot dengan dasar kompetensi dan beban kerja yang kemudian diolah dengan sistem random sehingga tidak akan mudah ditebak.
Robotik akan menghilangkan potensi dugaan dari pihak berperkara atau publik bahwa majelis Hakim Agung dapat dipesan untuk memenangkan suatu perkara.
Mahkamah Agung sedang menyusun prosedur persidangan kasasi dan peninjauan kembali, khususnya pengucapan putusan didorong untuk dilaksanakan secara elektronik dengan wadah digital berbentuk penyiaran langsung (live streaming).
Sebelum hari pengucapan putusan, tentunya pihak berperkara atau publik harus diberitahu terlebih dahulu agar mereka dapat menyaksikan siaran langsung pengucapan putusan kasasi atau peninjauan kembali tersebut.
Pengucapan putusan kasasi dan peninjauan kembali secara live streaming diyakini akan mengubah wajah peradilan menjadi lebih transparan karena selama ini keluhan muncul dari pihak berperkara dan publik mengenai jadwal putusan yang kadang baru diumumkan di website informasi perkara beberapa bulan setelah pengucapan putusan kasasi atau peninjauan kembali.
Pengucapan putusan kasasi dan peninjauan kembali secara live streaming diharapkan akan mendorong minutasi perkara kasasi dan peninjauan kembali lebih cepat dan salinan putusan dapat diterima oleh pihak berperkara tepat waktu.
Saat ini kelompok kerja bentukan Ketua Mahkamah Agung sedang berkerja untuk merumuskan kebijakan prosedur persidangan kasasi dan peninjauan kembali agar terwujud transparansi penanganan perkara di Mahkamah Agung dan menghilangkan atau setidaknya mengurangi keluhan dari pihak berperkara dan publik.
Tri semester awal tahun 2023, sejalan dengan penyusunan kebijakan dan mempersiapkan sarana prasarana persidangan seperti kamera perekam audio/video, ruang sidang, kebutuhan jaringan sistem informatika teknologi informasi dan lain-lain yang membutuhkan dukungan anggaran, persidangan kasasi dan peninjauan kembali secara live streaming dapat diwujudkan.
Pada awal tahun 2023, Mahkamah Agung sudah dapat melakukan elektronisasi/digitalisasi penanganan perkara pidana khususnya administrasi perkara pidana dengan aplikasi Elektronik Berkas Pidana Terpadu (e-BERPADU).
Aplikasi e-BERPADU yang saat ini digunakan sudah menggunakan versi 2.0.0 dengan beberapa penambahan baik Aparat Penegak Hukum yang terlibat di dalamnya. Pada versi awal yaitu versi 1.0.0 hanya ada Kepolisian dan Kejaksaan, namun saat ini sudah bertambah yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, dan beberapa Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Untuk fitur terdapat beberapa penambahan dari versi 1.0.0 yang semula hanya ada 7 (tujuh) fitur yaitu izin penyitaan, izin penggeledahan, pelimpahan perkara, diversi, besuk dan pinjam pakai barang bukti, saat ini pada versi 2.0.0 terdapat beberapa penambahan fitur antara lain monitoring, tanda tangan elektronik dan perpanjang penahanan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Kedepannya aplikasi e-Berpadu akan terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan diantaranya proses persidangan dan upaya hukum banding dan kasasi serta peninjauan kembali.
Keberhasilan e-BERPADU ini menyusul keberhasilan elektronisasi/digitalisasi perkara perdata melalui aplikasi e-Court. Kedua aplikasi tersebut didukung dengan kebijakan Mahkamah Agung dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik serta petunjuk teknisnya dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 363KMA/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor Nomor 365/KMA/XII/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.
Elektronisasi/digitalisasi perkara pidana maupun perdata ini akan memangkas prosedur panjang birokrasi sehingga tercipta efektivitas dan efisiensi layanan perkara yang diharapkan dapat meningkatkan pelayanan bagi masyarakat pencari keadilan dan transparansi dalam penanganan perkara, hal ini juga untuk mendukung proses administrasi upaya hukum dan persidangan kasasi dan peninjauan kembali secara elektronik yang diamanatkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2022 tentang Administrasi Pengajuan Upaya Hukum dan Persidangan Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung Secara Elektronik.
Memperkuat komunikasi publik,
Demi mewujudkan prinsip transparansi dan akuntabilitas di Mahkamah Agung dan peradilan dalam penanganan perkara, administrasi maupun persidangannya, Mahkamah Agung perlu memperkuat penyelenggaraan komunikasi publik yang terencana, sistematis dan efektif untuk membangun kepercayaan dan dukungan publik terhadap Mahkamah Agung dan badan peradilan. Mahkamah Agung perlu mendengar masukan-masukan konstruktif dari publik dan menyampaikan capaian-capaian kinerja Mahkamah Agung dan badan peradilan.
Ketua Mahkamah Agung dengan didampingi pimpinan sudah melakukan komunikasi publik tersebut, dengan berturut turut mengundang forum pemimpin redaksi (8/11), Koalisi Pemantau Peradilan termasuk mengundang Komisi Yudisial (23/11) terakhir mengundang jurnalis (9/12) dalam kegiatan MARI MENDENGAR.
Ketua Mahkamah Agung juga melakukan wawancara eksklusif untuk menjelaskan langkah-langkah strategis dan sistematis Mahkamah Agung setelah peristiwa penindakan di Mahkamah Agung bersama Kompas TV (17/11) dan Kumparan (26/11)
Setelah kegiatan MARI MENDENGAR, Mahkamah Agung akan mengadakan kegiatan MARI BICARA, Mahkamah Agung akan menyampaikan capaian-capaian kinerja dan jawaban terhadap masukan-masukan yang diterima dalam kegiatan MARI MENDENGAR.
Harapan tahun 2023,
“Integritas merupakan kunci yang akan menentukan baik dan buruknya wajah lembaga kita, memelihara integritas adalah harga mati tanpa integritas kehormatan kita yang akan mati” pesan ketua Mahkamah Agung Prof.Dr.H.M. Syarifuddin, SH.MH., pada pelantikan 21 Ketua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara (30/11).
Mahkamah Agung akan terus berusaha mengawal terwujudnya badan peradilan yang agung yang dicanangkan dalam cetak biru pembaharuan peradilan 2010-2035, dalam usaha tersebut tentunya Mahkamah Agung membutuhkan dukungan publik.
Mahkamah Agung sudah melakukan langkah-langkah pembenahan secara menyeluruh, seraya meminta maaf kepada publik atas ketidaknyamanan pelayanan akibat peristiwa operasi penindakan, tentunya Mahkamah Agung membutuhkan waktu untuk mengembalikan kepercayaan publik tersebut.
Dengan dukungan semua pihak dan atas ridha Tuhan Yang Maha Esa, Mahkamah Agung optimis dapat meningkatkan integritas dan mengembalikan kepercayaan publik.
Tahun 2023,
Mahkamah Agung: Integritas Tangguh, Kepercayaan Publik Tumbuh
Jakarta, Jumat 30 Desember 2022.
Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.
Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung
Pengantar
Setiap manusia ditanamkan rasa takut akan sesuatu hal sehingga menyebabkan pola perilaku berubah menyesuaikan dengan penyebab rasa takut itu sendiri. Takut menurut bahasa memiliki beberapa arti yakni : 1). merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana, 2). Takwa, segan dan hormat, 3).tidak berani (berbuat, menempuh, menderita, dan sebagainya), 4). Gelisah, khawatir.
Dalam perspektif psikologis, rasa takut merupakan bagian dari kecemasan. Atkinson memberikan pengertian kecemasan sebagai perasaan tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda. Berdasarkan pengertian tersebut, karakteristik rasa takut memiliki tingkatan yang berbeda-beda tergantung pada peristiwa yang dihadapi dan potensi resiko yang dapat dialami oleh seseorang.
Dalam kaitannya dengan profesi hakim maka terdapat titik singgung antara rasa takut dengan kemandirian hakim (independence of the judiciary) pada saat memeriksa dan memutus perkara dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Secara umum rasa takut tidak dapat dideteksi secara langsung dari diri hakim karena terletak pada alam pikir, namun melalui observasi dan pengalaman dalam praktik peradilan, beberapa hal berikut ini dapat dikualifisir sebagai bentuk rasa takut yang berpotensi menggerus kemandirian hakim.
Rasa Takut dan Kemandirian Hakim
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 diatur bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Salah satu ciri negara hukum, lembaga peradilan itu haruslah bebas (independent) dan tidak memihak (imparsial). Pada hakikatnya, peradilan yang bebas berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh dan campur tangan pihak lain. Kewenangan hakim tidak memihak lebih ditujukan kepada proses pelayanan agar pencari keadilan terhindar dari ekses-ekses negatif. Independensi menyangkut nilai-nilai substansial, sedangkan imparsial berkaitan dengan nilai-nilai prosedur.[1]
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan kedudukan kemandirian hakim di dalam ketentuan Pasal 3 (1) yakni “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”. Berdasarkan wewenang dan tugasnya sebagai pelaku utama fungsi pengadilan, maka sikap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta itu merupakan cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim dalam sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur.[2]
Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan wujud sila pertama pada Pancasila yang diakomodir di dalam ketentuan Pasal 2 (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yakni Peradilan dilakukan "DEMI KEADI
[1] M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, (Bandung : Alumni, 2012), hal.139.
[2] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim, Pembukaan, hal.3.
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Melalui amanat tersebut maka pertanggungjawaban tugas hakim pada saat memeriksa dan memutus perkara dilakukan berlandaskan prinsip umum keyakinan beragama yang mestinya dapat menguatkan konsistensi, integritas dan keberanian hakim mewujudkan keadilan.
Jaminan keamanan merupakan salah satu penyebab munculnya rasa takut hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam sejumlah peristiwa, hakim menerima perlakuan yang mengancam keselamatan sehingga menjadi korban pembunuhan, penganiayaan dan lain sebagainya padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) mengatur bahwa “Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman”.
Ada dua frasa yang perlu dikritisi di dalam rumusan pasal tersebut yakni kewajiban negara memberikan jaminan keamanan dan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat[1] sedangkan alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara adalah pemerintah.
Jaminan keamanan hakim oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum yang berwenang dilakukan melalui koordinasi antara pengadilan dengan pihak kepolisian merujuk pada mekanisme umum yang berlaku pada instansi lain sedangkan dalam penanganan perkara terorisme, jaminan keamanan diatur tersendiri dalam Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor
[1] Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 120.
2 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pelaksanaan Pelindungan Bagi Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan Beserta Keluarganya Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme.
Jaminan keamanan hakim juga memiliki hubungan dengan kewajiban menjaga wibawa peradilan sebagaimana maksud Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menegaskan “Demi menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai "Contempt of Court ".
Untuk saat ini, hendaknya pengadilan memastikan koordinasi dengan pihak keamanan terkait dilakukan dengan optimal dan menjalankan protokol keamanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan untuk menghindari berbagai kemungkinan munculnya ancaman keamanan dan keselamatan sehingga para hakim yang bersidang terhindar dari rasa takut terhadap jaminan keamanan pada saat memeriksa dan memutus perkara. Namun dimasa depan, perlu ditelaah lebih lanjut dukungan pemerintah terhadap lahirnya Undang-Undang Contempt of Court maupun bentuk jaminan pengamanan melekat lainnya dari pihak yang berwenang termasuk penguatan pengamanan internal dari organ khusus yang ada disetiap pengadilan.
Ketakutan berikutnya yang berpotensi mempengaruhi kemandirian hakim ialah opini publik. Secara etimologi opini publik adalah terjemahan dari bahasa Inggris yaitu public opinion. Sementara public opinion berasal dari bahasa latin yaitu opinari dan publicus. Opinari mempunyai arti fikir atau menduga sedangkan publicus artinya adalah milik masyarakat luas. Berdasarkan makna secara etimologi tersebut maka opini publik adalah pendapat mayoritas masyarakat mengenai suatu informasi tertentu yang diperbincangkan.
Pembentukan opini publik terhadap perkara yang sedang ditangani menuntut hakim yang memeriksa perkara mempertahankan kemandirianya dengan mengesampingkan rasa takut terhadap perbedaan penilaian hakim dengan opini publik. Misalnya opini publik menganggap seorang terdakwa di persidangan sebagai pelaku kejahatan sedangkan hakim memiliki keyakinan terdakwa tidak bersalah berdasarkan bukti-bukti yang diajukan dipersidangan maka hakim dituntut menghilangkan rasa takut terhadap komentar negatif masyarakat terhadap putusan bebas yang akan dijatuhkan.
Sudah menjadi resiko profesi hakim untuk dikomentari, dibully, dan bahkan dilaporkan kepada Badan Pengawasan, Komisi Yudisial, Ombudsman maupun kepada pihak-pihak lainnya. Lantas menjadi ragukah hakim atas putusan yang telah dijatuhkan ? Bila keragu-raguan itu ada maka sesungguhnya kemandirian hakim telah terbelenggu oleh opini publik. Konsep pandangan di atas menunjukkan rasa takut dapat mempengaruhi kemandirian hakim dalam proses pemeriksaan persidangan dan pasca persidangan. Dalam menghadapi keadaan semacam ini, hakim hendaknya berpegang teguh pada kode etik dan pedoman perilaku hakim butir 6 yakni bertanggungjawab. Bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.
Ketakutan berikutnya yang berpotensi mempengaruhi kemandirian hakim ialah pengawasan. Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial namun pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.[1]
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya, diatur pengertian Pengawasan dan Pembinaan atasan langsung adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap pejabat pemangku jabatan struktural untuk membina dan mengendalikan secara terus menerus bawahan yang berada langsung di bawahnya untuk dapat melaksanakan tugas secara efektif dan efisien serta berperilaku sesuai dengan kode etik aparat peradilan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Pejabat struktural dalam rangka mengawasi penanganan perkara oleh hakim dilarang mengancam pemberian sanksi, apabila hakim tidak menggunakan sumber hukum tertentu di dalam pertimbangan putusannya atau apabila hakim tidak menuruti kehendaknya terhadap suatu perkara yang sedang ditangani dengan alasan menjalin hubungan baik pengadilan dengan pihak tertentu. Hal ini menyebabkan konsep relasi kuasa dalam perkara pidana maupun perdata dapat ditarik muatannya ke ranah administratif peradilan yang mengekang kemandirian hakim, padahal jelas dalam undang-undang kekuasaan kehakiman diatur bahwa alasan dan dasar putusan merupakan kewenangan hakim yang memeriksa perkara.
Ketakutan terhadap pengawasan dapat juga menjadi bumerang bagi rasa keadilan. Misalnya ketika Hakim akan memutus perkara pidana, penasihat hukum terdakwa membuat berbagai macam pengaduan yang sebenarnya ditujukan untuk memberi tekanan agar Hakim memutuskan pidana dengan
[1] Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 39 dan Pasal 40.
[2] Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan Dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya.
hukuman rendah maka ketika alur pikir tersebut menjadi alasan seorang terdakwa dihukum, pada saat itu ketakutan telah mengintervensi kemandirian. Hendaknya para hakim menganggap semua laporan/pengaduan sebagai suatu
hal yang biasa dalam menjalankan tugas-tugas yudisial sepanjang proses persidangan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undang dan menerapkan prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim dengan sebaik-baiknya namun Badan Pengawasan Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial juga mesti memperlakukan para hakim yang dilaporkan/diadukan dengan hormat serta menjunjung tinggi Kemandirian Hakim.
Pengertian takut yang kedua sebagaimana termuat pada pengantar di atas adalah takwa. Pada hakikatnya setiap orang yang beriman, dituntut takut melanggar perintah dalam agama yang menghendaki kehidupan dijalankan dengan ideal dengan tujuan menciptakan keharmonisan. Konsep pengawasan oleh Tuhan adalah pengawasan tanpa batas mengingat kebesaranNya, sebagaimana disebutkan dalam Alquran At-Taghabun ayat (4) “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati”.
Arti kata takut berikutnya adalah hormat. Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan akses terhadap keadilan (access to justice) diantaranya melalui keterbukaan informasi, digitalisasi sistem peradilan, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan banyak program lainnya yang kesemuanya dimaksudkan agar peradilan bermanfaat dan kepercayaan publik (public trust) meningkat.
Menghormati segala upaya yang telah dilakukan Mahkamah Agung dan ketakutan mencoreng nama baik peradilan juga mestinya terpatri pada setiap hakim agar Visi Mewujudkan Badan Peradilan Indonesia Yang Agung dapat terwujud, khususnya melalui pelayanan berkeadilan dan putusan yang memenuhi keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice). Dengan demikian ketakutan terhadap pengawasan Tuhan dan ketakutan mencoreng nama baik peradilan akan mengokohkan kemandirian.
Penutup
Rasa takut mengintervensi kemandirian hakim apabila hakim membiarkan rasa takut mempengaruhi hilangnya keadilan dalam proses persidangan maupun pada saat menjatuhkan putusan. Rasa takut mengokohkan kemandirian hakim apabila hakim melekatkan ketakutannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kekuasaannya dan menghindari sikap dan perbuatan yang dapat mencoreng nama baik peradilan. Seperti halnya prajurit yang bertempur dengan rasa takut kepada Tuhan dengan tujuan membela negaranya maka sekalipun gugur di medan pertempuran, sesungguhnya ia telah menang.
Referensi
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, Bandung, Alumni, 2012.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan Dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya.
Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Jakarta, Kencana, 2012.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dokumen
Rasa Takut Mengintervensi dan Mengokohkan Kemandirian Hakim – riki.docx
Sumber : www.mahkamahagung.go.id
Dr. Ridwan Mansyur, S.H., M.H.
Nothing endures but change, begitulah statemen Heraclictus, seorang filsuf kenamaan Yunani. Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Demikian halnya kebutuhan atas layanan pengadilan, seiring perkembangan zaman, ia terus berkembang dan berubah. Publik menghendaki agar pengadilan mampu dan senantiasa beradaptasi dengan laju perkembangan peradaban. Tidak ada jalan lain untuk dapat memenuhi ekspektasi publik tersebut kecuali dengan satu cara: pembaruan.
Mahkamah Agung memiliki komitmen serius dalam hal pembaruan peradilan. Untuk mempertegas komitmentersebut, disusunlah Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035.. Cetak biru ini merupakan peta jalan sekaligus mercusuar yang akan memandu dan memberi petunjuk arah pembaruan peradilan agar dapat berjalan lebih terstruktur, terukur, serta tepat sasaran.
Pembaruan peradilan mutlak diperlukan untuk memenuhi nilai-nilai inti Court Excellence. Bertolak dari sini, kemudian muncullah pertanyaan: 1) nilai-nilai apa saja yang mutlak harus dipenuhi untuk mewujudkan Court Excellence? 2) apa saja pembaruan-pembaruan yang telah diikhtiarkan oleh Mahkamah Agung? 3) apakah pembaruan-pembaruan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut telah selaras dengan nilai-nilai Court Excellence? Artikel ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Nilai-Nilai Inti Court Excellence
Dalam mengagendakan pembaruan, Mahkamah Agung mengacu pada Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, sedangkan Cetak Biru tersebut disusun dengan menggunakan pendekatan Kerangka Pengadilan yang Unggul (The Framework of Court Excellence). Kehendak terwujudnya peradilan yang unggul bukan saja terjadi di Indonesia. Dunia internasional juga menghendaki hal itu. Oleh karenanya, peradilan-peradilan di belahan dunia kemudian bertemu, menyepakati, dan menerapkan sebuah standar internasional untuk menyelenggarakan sistem peradilan. Standar tersebut dinamakan dengan International Framework for Court Excellence.
International Framework for Court Excellence adalah sistem manajemen mutu yang dirancang untuk membantu pengadilan meningkatkan kinerjanya. Sistem ini merupakan pendekatan yang komprehensif untuk mencapai pengadilan yang unggul. Kerangka ini merupakan metodologi peningkatan berkelanjutan yang memandu perjalanan pengadilan untuk menuju pengadilan yang unggul dengan memastikan pengadilan secara aktif dan terus-menerus meninjau kinerjanya sekaligus mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya. Ada empat kegiatan primer dalam siklus kerangka ini:
1. Penilaian mandiri. Siklus ini adalah pemeriksaan kondisi pengadilan dan melibatkan analisis kinerja di tujuh area;
2. Analisis mendalam atas penilaian mandiri untuk menentukan bidang-bidang kerja pengadilan apa saja yang mampu ditingkatkan;
3. Rencana perbaikan dikembangkan dengan merinci area yang diidentifikasi untuk perbaikan, tindakan yang diusulkan untuk perbaikan, dan hasil yang ingin dicapai;
4. Pemantauan rencana peningkatan berdasarkan tinjauan dan perbaikan.
Metodologi Penilaian Berkelanjutan
(Sumber: https://www.courtexcellence.com/__data/assets/pdf_file/0027/61479/The-International-Framework-3E-Indonesian.pdf)
?International Framework for Court Excellencemengakui ada kesepakatan internasional mengenai nilai-nilai inti yang diterapkan oleh pengadilan dalam menjalankan peran mereka. Nilai-nilai inti ini membantu pengadilan untuk mewujudkan proses hukum yang adil dan tersedianya perlindungan hukum yang sama di hadapan hukum untuk semua orang yang memiliki kepentingan di pengadilan. Nilai-nilai inti tersebut adalah:
Pertama, fairness. Fairness identik dengan keadilan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan keadilan sebagai: 1) sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, 2) berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma objektif. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama. Adil menurut seseorang belum tentu adil bagi yang lainnya. Oleh sebab itu, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui.
Kedua, impartiality. Ketidakberpihakan merupakan syarat utama terselenggaranya proses peradilan yang jujur dan adil, serta dihasilkannya suatu putusan yang berkeadilan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, aparatur peradilan harus tidak berpihak dalam memperlakukan pihak-pihak yang berperkara.
Ketiga, independence. Kemandirian dapat dipilah menjadi dua jenis: kemandirian institusional dan kemandirian fungsional. Kemandirian institusional berarti bahwa badan peradilan harus bebas dari intervensi pihak lain di luar kekuasaan kehakiman (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Sedangkan kemandirian fungsional artinya setiap aparatur peradilan wajib menjaga kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Keempat, competence. Kompeten artinya cakap; mengetahui. Salah satu kriteria badan peradilan unggul adalah apabila ia mampu mengelola dan membina sumber daya manusia yang kompeten dengan kriteria obyektif, sehingga tercipta aparatur peradilan yang berintegritasdan profesional.
Kelima, transparency. Salah satu upaya badan peradilan untuk menjamin adanya perlakuan sama di hadapan hukum, perlindungan hukum, serta kepastian hukum yang adil, adalah dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi. Keterbukaan informasi ini adalah unsur terpenting dalam terminologi transparansi badan peradilan.
Keenam, accessibility. Akses untuk memperoleh keadilan merupakan hak setiap warga negara tanpa membedakan strata sosialnya. Akses terhadap keadilan (access to justice) dapat diartikan sebagai kesempatan untuk mendapatkan keadilan yang berlaku bagi semua kalangan atau sering disebut dengan istilah justice for all. Dalam kerangka normatif, negara telah memberikan jaminan dan kesempatan yang sama bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh keadilan, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 28D UUD 1945.
Ketujuh, timeliness. Ketepatan waktu mencerminkan keseimbangan antara waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan, menyajikan, serta menimbang bukti hukum, aturan hukum, argumen hukum, denganpenundaan yang tidak beralasan akibat proses yang tidak efisien atau sumber daya yang tidak mencukupi. Nilai dasar tersebut tidak kalah penting dari jaminan kepastian hukum.
Kedelapan, certainty. Maksud kepastian di sini adalah bahwa keputusan berasal dari aturan, prinsip, dan preseden yang telah ditetapkan, dan pada titik tertentu akan dianggap 'final' baik pada tingkat pertama atau melalui proses upaya hukum. Selain bermakna kesatuan hukum, kepastian juga dapat diartikan sebagai kepastian prosedur layanan.
Kesembilan, equality. Setiap warga negara, khususnya pencari keadilan, berhak mendapat perlakuan yang sama dari Badan Peradilan untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ini sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sertaPasal 4 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kesepuluh, integrity. Integritas ini meliputi transparansi dan kepatutan di antara proses, keputusan, dan pembuat keputusan. Keadilan tidak hanya harus diwujudkan, tetapi harus dilakukan secara transparan dan terlihat dengan jelas.
Nilai-Nilai Inti Court Excellence
Potret Pembaruan Mahkamah Agung
?Pembaruan-pembaruan di Mahkamah Agungdilakukan secara berkelanjutan dan berorientasi pada tujuan sebagai berikut: pertama, organisasi berbasis kinerja (performance based organization), kedua, organisasi berbasis pengetahuan (knowledge based organization), dan ketiga, sistem pengelolaan organisasi.?
Arah pembaruan Mahkamah Agung difokuskan pada bidang-bidang berikut: Pembaruan Manajemen Perkara, Pembaruan Fungsi Teknis, Pembaruan Fungsi Penelitian dan Pengembangan, Pembaruan Pengelolaan Sumber Daya Manusia, Pembaruan Sistem Pendidikan dan Pelatihan, Pembaruan Pengelolaan Anggaran, Pembaruan Pengelolaan Aset, Pembaruan Teknologi Informasi, Pembaruan Sistem Pengawasan, dan Pembaruan Sistem Keterbukaan Informasi. Namun mengingat ruang dan waktu yang terbatas, dalam artikel ini fokus kajian yang dilakukan terbatas pada pembaruan pada bidang Manajemen Perkara dan pembaruan Fungsi Teknis.
a. Pembaruan Manajemen Perkara
Agenda pembaruan pada manajemen perkara dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu: pertama, modernisasi manajemen perkara, kedua, penataan ulang organisasi manajemen perkara, dan ketiga, penataan ulang proses manajemen perkara.
Pertama, modernisasi manajemen perkara. Mahkamah Agung membagi arah pengembangan dukungan manajemen perkara menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
1) keterbukaan dan revitalisasi sistem pelaporan
2) modernisasi business process dan pelayanan publik, dan
3) pelayanan hukum terintegrasi.
?Pada kelompok 1 (keterbukaan dan revitalisasi sistem pelaporan), Mahkamah Agung telah mengupayakan banyak pembaruan, antara lain:
1. Direktori Putusan
Direktori Putusan adalah sistem berbasis situs web yang dimiliki oleh Kepaniteraan Mahkamah Agung untuk mempublikasikan putusan Mahkamah Agung dan putusan pengadilan dari empat lingkungan peradilan,baik tingkat pertama maupun tingkat banding di seluruh Indonesia. Hingga artikel ini ditulis, putusan yang telah terpublikasikan di sistem tersebut berjumlah 6.559.634 putusan. Kepaniteraan Mahkamah Agung kemudian mengembangkan sistem ini sehingga konten yang termuat dalam sistem tersebut tidak hanya Putusan, tetapi juga mencakup Yurisprudensi, Rumusan Rakernas, Restatemen, Kompilasi Kaidah Hukum, dan Putusan Penting.
2. Info Perkara
Dalam skop yang lebih kecil, yakni khusus perkara pada lingkungan Mahkamah Agung, Kepaniteraan Mahkamah Agung juga memiliki sistem Info Perkara. Info Perkara ini merupakan aplikasi yang dapat memudahkan para pencari informasi untuk melihat informasi perkara yang ada di Mahkamah Agung.
3. Sistem Informasi dan Penelusuran Perkara (SIPP) pada seluruh pengadilan di Indonesia
Salah satu lompatan besar Mahkamah Agung adalah pemberlakuan SIPP. Aplikasi ini merupakan sistem administrasi dan penyediaan informasi perkara baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Aplikasi SIPP ini membantu pengadilan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi dalam menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara secara lebih efektif dan efisien. Dengan aplikasi ini pula sistem pelaporan menjadi sederhana dengan berbasis elektronik. Bagi pencari keadilan, aplikasi ini memudahkan mereka untuk mengakses informasi tentang proses atau perjalanan suatu perkara.
4. Virtual Account (VA) untuk pembayaran biaya perkara pada Mahkamah Agung
Sejak akhir tahun 2017 Kepaniteraan Mahkamah Agung telah melakukan modernisasi sistem pembayaran biaya perkara kasasi, peninjauan kembali, dan pengiriman biaya penyampaian dokumen ke luar negeri, yaitu dengan menggunakan virtual account. Sistem ini memudahkan pengelolaan keuangan perkara, karena setiap ada uang masuk ke rekening penampung, dapat diketahui sumber dananya.
5. Optimalisasi Website
Website adalah media yang efektif untuk mempublikasikan informasi pengadilan. Oleh sebab itu, fungsinya perlu dioptimalkan. Mahkamah Agung terus berusaha untuk mengoptimalkan fungsi website ini dengan melengkapi dan mengupdate konten. Selain Mahkamah Agung, untuk mendukung fungsi transparansi, Kepaniteraan Mahkamah Agung juga membangun dan mengelola website tersendiri. Website juga dimiliki oleh seluruh pengadilan pada empat lingkungan badan peradilan. Untuk mengoptimalkan website pada satker pengadilan, masing-masingDirektorat Jenderal Peradilan di bawah Mahkamah Agung telah mengeluarkan keputusan mengenai standarisasi konten website pengadilan. Standarisasi ini dinilai sangat tepat agar informasi yang dapat terpublikasikan pengadilan lengkap dan utuh.
6. Publikasi Landmark Decision, Yurisprudensi, dan Surat Edaran Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar
Salah satu indikator peradilan yang unggul adalah adanya kepastian hukum. Kepastian hukum dapat tercermin dari adanya kesatuan hukum. Untuk mewujudkan kesatuan hukum tersebut Mahkamah Agung kemudian memproduksi kemudian mempublikasikan Landmark Decision, Yurisprudensi, dan Surat Edaran Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar secara berkala, baik melalui Laporan Tahunan, buku, website, atau media lain.
?Adapun terkait kelompok 2 (modernisasi business process dan pelayanan publik), pembaruan-pembaruan yang telah diupayakan antara lain:
1. E-Court
E–Court adalah layanan pendaftaran perkara secara online, mendapatkan taksiran panjar biaya perkara secara online, pembayaran biaya perkara secara online, pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik, dan persidangan yang dilakukan secara elektronik. E-Court mencakup:
1. e-Filing (pendaftaran perkara online)
2. e-Payment (pembayaran panjar biaya perkara online)
3. e-Summons (pemanggilan pihak secara online)
4. e-Litigation (persidangan secara online)
E-Court pada mulanya diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Peraturan tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.
Pada tahun 2020 penggunaan e-court untuk pendaftaran perkara perdata, perdata agama, dan tata usaha negara melonjak dahsyat. Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2020, pada tahun tersebut perkara pada peradilan tingkat pertama yang didaftarkan melalui e-court jumlahnya meningkat hingga 295,79%.
Inovasi e-Court mendapat apresiasi yang luar biasa dari berbagai kalangan, termasuk dari Kepala Negara Republik Indonesia. Dalam acara Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2020 yang dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 17 Februari 2021, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, melontarkan pujian tingkat tinggi kepada Mahkamah Agung yang telah berhasil memanfaatkan teknologi untuk mewujudkan peradilan berbasis elektronik.
2. Percepatan Penyelesaian Perkara pada Mahkamah Agung
Salah satu jalan pintas untuk mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan adalah dengan melakukan percepatan penyelesaian perkara. Percepatan ini tentu dengan tetap memperhatikan kualitas putusan. Dalam hal percepatan ini, Mahkamah Agung telah menampilkan capaian yang luar biasa. Beban perkara Mahkamah Agung pada tahun 2020 meningkat menjadi 20.761 perkara atau naik 6,07% jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang berjumlah 20.275 perkara. Hebatnya, capaian memutus perkara Mahkamah Agung di tahun 2020 mencapai 20.562 perkara (99,04%). Artinya, sisa perkara hanyalah sebanyak 199 (0,96%). Dari data-data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tahun 2020 Mahkamah Agung menerima perkara dengan jumlah terbanyak, menyisakan tunggakan perkara (case backlog) dengan jumlah terkecil, serta mencatatkan rasio produktivitas memutus tertinggi sepanjang sejarah Mahkamah Agung. Capaian membanggakan ini juga diikuti dengan peningkatan jumlah perkara yang pemeriksaannya kurang dari tiga bulan, yaitu sebesar 96,65% dari jumlah beban perkara. Angka ini juga merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah Mahkamah Agung.
3. Prosedur Baru Rogatory
Prosedur penyampaian panggilan/pemberitahuan bagi pihak berperkara yang bertempat tinggi di luar negeri sebelumnya belum mendapat pengaturan yang jelas dalam hukum acara. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Mahkamah Agung dan Kementerian Luar Negeri menyusun nota kesepahaman. Pertama, nota kesepahaman yang ditandatangani pada tanggal 19 Februari 2013 antara Panitera Mahkamah Agung dan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional. Kedua, nota kesepahaman yang ditandatangani pada tanggal 20 Februari 2018. Ketiga, nota kesepahaman yang ditandatangani pada tanggal 20 Februari 2019.Upaya ini merupakan bentuk modernisasi prosedur rogatory, agar lebih jelas, efektif dan efisien.
4. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) seluruh Pengadilan di Indonesia
PTSP adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap awal sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan pengadilan melalui satu pintu. Kehadiran PTSP ini sangat efektif memangkas jalur pelayanan. Dengan adanya PTSP, para pencari keadilan tidak perlu lagi menempuh terlalu banyak jalur untuk mendapatkan layanan pengadilan. Standarisasi PTSP ini diatur oleh masing-masing Direktorat Jenderal Pengadilan.
5. Layanan Prodeo, Sidang di Luar Gedung, dan Posbakum
Justice for all bagi Mahkamah Agung bukan sekadar jargon semata. Untuk mewujudkan nilai itu, pada tahun 2014 ditetapkanlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Layanan Hukum bagi Masyarakat tidak Mampu di Pengadilan. Dalam Perma tersebut diatur ketentuan mengenai pedoman bantuan hukum meliputi layanan pembebasan biaya perkara, sidang di luar gedung pengadilan, dan pembentukan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di Pengadilan.
6. Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM)
Pembangunan WBK dan WBBM merupakan usaha yang terukur, terstruktur, dan terstandarisasi dalam mewujudkan peradilan yang bersih dari korupsi sekaligus birokrasi yang bermental melayani. Pada tahun 2019, Satker yang meraih predikat WBK sejumlah 63 unit Satker. Selanjutnya, di masa pandemi, yakni di tahun 2020, justru meningkat. Sebanyak 85 Satker berhasil meraih predikat WBK, salah satu peraihnyaadalah Eselon I, yaitu Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Pada tahun 2020 juga terdapat sembilan Satker yang menerima predikat WBBM.
7. Perlindungan Perempuan Berhadapan dengan Hukum
Perempuan seringkali berada pada titik inferior saat berhadapan dengan hukum. Oleh sebab itu Mahkamah Agung terpanggil untuk mewujudkan perlindungan terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum. Mahkamah Agung kemudian menetapkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Terkait kelompok 3 (pelayanan hukum terintegrasi), Mahkamah Agung juga telah mengupayakan beberapa langkah. Pelayanan hukum terintegrasi dalam hal ini mencakup: 1) integrasi dengan penegak hukum lain, 2) terintegrasi dalam pengadilan online, dan 3) terintegrasi dengan sistem login tunggal advokat. Upaya yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung terkait pembaruan kelompok 3 ini antara lain:
1. Sistem Penanganan Perkara Pidana Terpadu berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI)
SPPT-TI adalah sistem pertukaran data perkara pidana secara elektronik diantara 4 lembaga penegak hukum (Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung RI, Mahkamah Agung RI, Ditjen PAS Kemenkumham RI). Pengembangan SPPT-TI juga melibatkan Bappenas RI, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemkominfo RI) dan BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara).
SPPT-TI adalah satu kesatuan rangkaian dari sistem manajemen perkara pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pelaksanaan putusan atau penetapan yang melibatkan komponen peradilan pidana yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lapas dengan memanfaatkan teknologi informasi yang menghasilkan informasi yang bermanfaat dalam penegakan hukum.Adapun dokumen yang dipertukarkan dan menjadi tanggung jawab Pengadilan Negeri adalah Penetapan Majelis Hakim, Penetapan Panitera Pengganti, Penetapan Hari Sidang Pertama, Amar Putusan dan Salinan Putusan. Implementasi SPPT-TI ini tidak menggantikan sistem yang saat ini sudah ada di Pengadilan Negeri, dan bahwa pertukaran data dilakukan pada tingkat pusat sehingga tugas Pengadilan Negeri adalah melakukan penginputan dengan lengkap seluruh dokumen proses persidangan pada Sistem Informasi dan Penelusuran Perkara (SIPP).
2. Pelayanan Terpadu Sidang Keliling
Pelayanan Terpadu Sidang Keliling adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan terkoordinasi dalam satu waktu dan tempat tertentu antara pengadilan negeri/pengadilan agama/mahkamah syari’ah dengan dinaskependudukan dan pencatatan sipil kabupaten/kota, dan kantor urusan agama kecamatan dalam layanan keliling untuk memberikan layanan pengesahan perkawinan dan perkara lainnya sesuai kewenangan pengadilan negeri dan itsbat nikah sesuai kewenangan pengadilan agama/mahkamah syari’ah untuk memenuhi pencatatan perkawinan dan pencatatan kelahiran.
3. Pengambilan Salinan Putusan via aplikasi e-Court
Integrasi data dengan sistem e-Court memiliki banyak keunggulan. Salah satu keunggulannya adalah para pihak tidak perlu datang ke pengadilan untuk mengambil salinan putusan. Salinan putusan yang telah ditandatangani secara elektronik oleh panitera pengadilan dapat diunduh oleh pihak berperkara, tentunya setelah ia membayar terlebih dahulu biaya PNBP dan Leges Panitera yang akan tersedia secara otomatis dengan virtual account di laman e–court tersebut.
Kedua, penataan ulang organisasi manajemen perkara. Pada tahun 2015, Mahkamah Agung melakukan langkah revolusioner, yakni penataan ulang organisasi kepaniteraan dan kesekretariatan untuk peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Penataan ulang tersebut dipayungi dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan. Sebelum ditata ulang, panitera dan sekretaris pengadilan dijabat oleh orang yang sama, pasca terbitnya Perma tersebut, panitera dan sekretaris pengadilan dijabat oleh dua orang berbeda. Dengan demikian panitera dapat fokus mengelola kepaniteraan dan sekretaris dapat fokus menjalankan tugas kesekretariatan. Langkah ini ditempuh agar penanganan manajemen perkara di bawah komando panitera berjalan lebih terfokus dan terarah.
Ketiga, penataan ulang proses manajemen perkara. Penataan ulang proses (business process reengineering) manajemen perkara di Mahkamah Agung merupakan bagian penting dalam pembaruan peradilan. Salah satu kebijakan yang lahir dari kerangka business process reengineering adalah penyederhanaan administrasi dan birokrasi penerimaan berkas perkara di Mahkamah Agung. Penyederhanaan proses manajemen perkara bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan perkara di Mahkamah Agung dan memudahkan publik dalam pengurusan birokrasi pengadilan, khususnya terkait dengan pemenuhan hak dan kewajiban para pihak. Kedua hal ini akan berdampak positif terhadap peningkatan kinerja dan persepsi publik terhadap lembaga peradilan.
Pembaruan administrasi penerimaan berkas tersebut antara lain adalah terkait:
1) Pelimpahan Wewenang Penerimaan dan Penelaahan Berkas
Mahkamah Agung pada akhir tahun 2019, menerbitkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 243/KMA/SK/XI/2019 tanggal 27 November 2019 tentang Pelimpahan Wewenang Penerimaan dan Penelaahan Berkas Perkara Kasasi, Peninjauan Kembali, Grasi, dan Hak Uji Materiil kepada Kepaniteraan Mahkamah Agung. Surat Keputusan ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 2020. Materi muatan pokok dari Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung ini adalah penataan ulang proses birokrasi penerimaan dan penelaahan berkas dari yang semula ditangani oleh tiga unit eselon 1 Mahkamah Agung menjadi hanya ditangani oleh 1unit kerja Kepaniteraan Mahkamah Agung, yaitu sebagai berikut. Pertama, kewenangan penerimaan berkas perkara yang semula berada di Biro Umum Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung dilimpahkan kepada bagian tata usaha pada Sekretariat Kepaniteraan Mahkamah Agung. Kedua, kewenangan penelaahan kelengkapan berkas perkara yang semula berada di direktorat pranata dan tatalaksana perkara pada 3 (tiga) direktorat jenderal badan peradilan dialihkan kepada kepaniteraan muda perkara Mahkamah Agung.
2) Penggunaan Stiker Warna pada Amplop Berkas sebagai Pembeda Jenis Perkara
Proses distribusi berkas perkara dari unit penerima ke unit penelaah dapat terkendala ketika informasi jenis perkara tidak dicantumkan, khususnya untuk perkara pidana dan perdata yang berasal dari pengadilan negeri. Untuk mengatasi hambatan ini, Kepaniteraan Mahkamah Agung menerbitkan kebijakan penggunaan stiker warna berdasarkan jenis perkara yang ditempelkan pada amplop berkas. Kebijakan ini dimuat dalam surat Panitera Mahkamah Agung Nomor 352/PAN/OT.01.3/2/2020 tanggal 13 Februari 2020. Dengan adanya stiker warna yang menjadi penanda berkas, petugas penerima berkas secara visual dapat dengan mudah mengelompokkan berkas perkara berdasarkan asal pengadilan dan jenis perkara. Surat Panitera tersebut dilampirkan pula model amplop berkas dengan pembeda warna berdasarkan jenis perkara.
3) Pengaturan Prosedur Pengiriman Berkas ke Mahkamah Agung dalam Keadaan Khusus
Moda transportasi antar wilayah sempat berhenti beroperasi pada awal mewabahnya Covid-19. Kondisi ini mengakibatkan penyedia jasa pengiriman dokumen di sejumlah daerah menghentikan sementara layanannya. Beberapa pengadilan tingkat pertama melaporkan kesulitan mengirimkan berkas perkara kasasi/peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Merespons kondisi ini, Kepaniteraan Mahkamah Agung menerbitkan surat Panitera Mahkamah Agung Nomor 1017 /PAN/OT.01.3/6/2020 tanggal 25 Juni 2020 perihal petunjuk pengiriman berkas pada kondisi darurat.
4) Prosedur Penyampaian Laporan Kasasi Perkara Pidana yang Terdakwanya dalam Status Tahanan
Pada penghujung tahun 2020, Panitera Mahkamah Agung mengatur ulang prosedur penyampaian laporan kasasi perkara pidana yang terdakwanya dalam status tahanan melalui surat nomor 2304/PAN/HK.01/12/2020, tanggal 16 Desember 2020. Surat tersebut ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Terhitung mulai 1 November 2021, prosedur baru penyampaian laporan kasasi tersebut diberlakukan juga untuk Mahkamah Syar’iyah di Aceh dalam penanganan perkara jinayat. Hal ini tertuang dalam Surat Panitera MA Nomor 2193/PAN/HK.05/10/2021 tanggal 11 Oktober 2021.
b. Pembaruan Fungsi Teknis
Upaya pembaruan fungsi teknis badan peradilan harus menjamin terwujudnya pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman secara independen, efektif, dan berkeadilan. Upaya pembaruan dapat diartikan sebagai upaya untuk merevitalisasi fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dalam rangka menjaga kesatuan hukum dan revitalisasi fungsi pengadilan dalam rangka meningkatkan akses masyarakat pada keadilan. Untuk mencapai tujuan tersebut, program utama yang perlu dilakukan antara lain adalah penyederhanaan proses berperkara, penyelesaian perkara dengan acara cepat dan berorientasi perdamaian (mediasi), dan penguatan akses pada pengadilan.
?Dalam konteks pembaruan fungsi teknis, pembaruan yang telah diupayakan Mahkamah Agung antara lain:
1. Gugatan Sederhana (GS)
Untuk membumikan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, disusunlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Gugatan Sederhana atau Small Claim Court adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil tertentu diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana. Pada mulanya, berdasarkan Perma Nomor 2 Tahun 2015, nilai gugatan maksimal yang dapat diselesaikan melalui Gugatan Sederhana adalah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Selanjutnya melalui Perma Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, nilai maksimal gugatan materiil yang dapat diselesaikan melalui gugatan sederhana ditingkatkan menjadi Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
2. Implementasi Restorative Justice
Pada tahun 2014 Ketua Mahkamah Agung menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversidalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Ini adalah terobosan agar proses pemeriksaan pidana anak lebih berorientasi pada perdamaian dan restorative justice. Jika proses diversi berhasil, maka pemeriksaan pidana dihentikan, kemudian Ketua Pengadilan menerbitkanPenetapan Kesepakatan Diversi. Hal itu tentu memangkas proses penyelesaian perkara yang seharusnya berkepanjangan, menjadi sederhana dan cepat.
3. Penguatan Akses ke Pengadilan
Ada banyak sekali upaya yang dilakukan Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawahnya untuk penguatan akses ke pengadilan. Upaya-upaya tersebut antara lain: pembebasan biaya perkara, layanan sidang di luar gedung, layanan sidang terpadu, inovasi pembuatan gugatan mandiri, sidang di luar negeri (SK KMA Nomor 084/KMA/SK/V/2011), penyediaan Pos Bantuan Hukum (Posbakum), dan lain-lain. Upaya-upaya penguatan akses ini terus dimonitoring dan ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.
4. Pembacaan Berkas secara Elektronik
Ketua Mahkamah Agung menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tentang pedoman penerapan sistem kamar pada Mahkamah Agung RI. Penyempurnaan manajemen perkara pada dasarnya memerlukan prasyarat sebagai pendukung keberhasilan yaitu keberadaan dukungan sistem dan teknologi informasi. Pemanfaatan dokumen elektronik dapat membantu efisiensi dan efektivitas pemeriksaan/pembacaan. Pemanfaatan sistem informasi juga dapat membantu efisiensi dan efektivitas manajemen kalender sidang yang terjadwal dan tercatat. Saat ini pembacaan berkas sudah dapat dilakukan secara elektronik, sehingga dapat memangkas waktu dan dapat mengurangi penggunaan kertas dalam pembacaan berkas perkara.
5. Penguatan Sistem Kamar
Sistem Kamar pada Mahkamah Agung telah dikenalkan sejak tahun 2011, yakni dengan diberlakukannya Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung. Surat Keputusan tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali.
Tujuan dari penerapan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung adalah: 1) hakim dapat mengembangkan kepakaran dan keahlian dalam mengadili perkara, 2) meningkatkan produktivitas dalam pemeriksaan perkara, 3) mengurangi disparitasputusan, 4) memudahkan pengawasan putusan.
Mahkamah Agung telah berusaha melakukan penguatan sistem kamar tersebut melalui upaya: penyelenggaraan perdana rapat pleno kamar, pembentukan kelompok kerja penyusunan rencana aksi implementasi sistem kamar pada mahkamah agung, penataan ulang organisasi sistem kamar, dan penyempurnaan kembali pedoman sistem kamar.
Keselarasan Pembaruan dengan Nilai-Nilai Court Excellence
Apakah pembaruan-pembaruan yang diikhtiarkanMahkamah Agung tersebut telah linear dengan nilai-nilai Court Excellence? Secara tegas dapat dijawab: ya, sesuai. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut:
No |
Pembaruan |
Nilai Court Excellence yang Selaras |
1 |
Direktori Putusan
|
Transparency, accessibility |
2 |
Info Perkara
|
Transparency, accessibility |
3 |
SIPP
|
Transparency, accessibility, certainty, timelines |
4 |
Optimalisasi Website
|
Transparency, accessibility |
5 |
Publikasi Landmark Decision, Yurisprudensi, dan Surat Edaran Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar
|
Transparency, accessibility, certainty |
6 |
Virtual Account
|
Transparency, accessibility, certainty, timelines |
7 |
E-Court |
Transparency, accessibility, certainty, timelines |
8 |
Percepatan Penyelesaian Perkara pada Mahkamah Agung |
Timelines, competence, integrity, independence, fairness |
9 |
Prosedur Baru Rogatory |
Transparency, accessibility, certainty, timelines |
10 |
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) |
Transparency, accessibility, timelines, certainty |
11 |
Layanan Prodeo, Sidang di Luar Gedung, dan Posbakum |
Accessibility, certainty |
12 |
Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) |
Transparency, accessibility, timelines, certainty, fairness, impartiality, independence, competence, equality, integrity |
13 |
Perlindungan Perempuan Berhadapan dengan Hukum |
Accessibility, certainty, fairness, impartiality, independence, competence, equality, integrity |
14 |
SPPT-TI |
Transparency, accessibility, timelines, certainty, fairness, impartiality, independence, competence, equality, integrity |
15 |
Pelayanan Terpadu Sidang Keliling |
Accessibility, timelines |
16 |
Pengambilan Salinan Putusan via aplikasi e-Court |
Transparency, accessibility, timelines, certainty |
17 |
Penataan Ulang Organisasi Kepaniteraan Dan Kesekretariatan |
Competence |
18 |
Penataan Ulang Proses (Business Process Reengineering) Manajemen Perkara di Mahkamah Agung |
Timelines, certainty |
19 |
Gugatan Sederhana (GS) |
Timelines, certainty |
|
Implementasi Restorative Justice |
Fairness, impartiality, independence, equality |
20 |
Penguatan Akses ke Pengadilan |
Accessibility, certainty |
21 |
Pembacaan Berkas secara Elektronik |
Timelines |
22 |
Penguatan Sistem Kamar |
Competence |
Kesimpulan
The Framework of Courts Excellence mengakui ada kesepakatan internasional mengenai nilai-nilai inti yang harus diterapkan oleh pengadilan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Nilai-nilai tersebut adalah transparency, accessibility, timelines, certainty, fairness, impartiality, independence, competence, equality, dan integrity.
Dalam bidang manajemen perkara dan pembaruan fungsi teknis, pembaruan yang telah dilaksanakan Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawahnya antara lain adalah: Direktori Putusan, Info Perkara, SIPP, Website, Publikasi Landmark Decision, Yurisprudensi, dan Surat Edaran Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar, Virtual Account, e-Court, Percepatan Penyelesaian Perkara pada Mahkamah Agung, Prosedur Baru Rogatory, PTSP, Layanan Prodeo, Sidang di Luar Gedung, Posbakum, Pembangunan Zona Integritas menuju WBK dan WBBM, Perlindungan Perempuan Berhadapan dengan Hukum, SPPT-TI, Pelayanan Terpadu Sidang Keliling, Pengambilan Salinan Putusan via Aplikasi e-Court, Penataan Ulang Organisasi Kepaniteraan dan Kesekretariatan, Penataan Ulang Proses (Business Process Reengineering) Manajemen Perkara di Mahkamah Agung,Gugatan Sederhana, Implementasi Restorative Justice, Penguatan Akses ke Pengadilan, Pembacaan Berkas secara Elektronik, dan Penguatan Sistem Kamar.
Pembaruan-pembaruan yang diikhtiarkan Mahkamah Agung tersebut linear dengan nilai-nilai inti yang Court of Excellence. Mahkamah Agung telah berada pada garis edaryang benar untuk segera mewujudkan visi mulianya: Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung.Amin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Aturan Perundang-Undangan dan Dokumen Resmi
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah dan Akta Kelahiran.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung RI
Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 77/Dju/Sk/Hm02.3/2/2018 1530 tentang Pedoman Standar Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pada Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri
Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010
International Framework for Court Excellence, 3rd Edition, May 2020, The-International-Framework-3rd-Edition-Amended.pdf (courtexcellence.com), akses tanggal 08 Desember 2021
B. Buku, Artikel, Berita, Dll.
Asep Nursobah, Implementasi sistem Kamar pada Mahkamah Agung,https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/sistem-kamar/sejarah-sistem-kamar, akses tanggal 9 Desember 2021.
Asep Nursobah, Prosedur Penyampaian Surat Rogatoridan Surat Bantuan Penyampaian Dokumen Pengadilan dalam Masalah Perdata bagi Pihak yang Berada di Luar Negeri, https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/Materi_penyampaian-panggilan-ke-luar-negeri_asep-nursobah.pdf, akses tanggal 08 Desember 2021.
M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta: 2014.
Pan Mohamad Faiz dan Oly Viana Agustine, Akses terhadap Keadilan bagi Masyarakat Rentan di Mahkamah Konstitusi, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi Jalan Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta 10110.
Dokumen
PEMBARUAN PERADILAN SEBAGAI IKHTIAR MEWUJUDKAN COURT EXCELLENCE.docx
Tanda tangan elektronik berfungsi sebagai alat untuk memverifikasi dan autentifikasi atas identitas penandatangganan sekaligus untuk menjamin keutuhan dan keautentikan dokumen. Tanda tangan elektronik mempresentasikan identitas penandatanganan yang diverifikasi berdasarkan data pembuatan tanda tangan elektronik dimana data pembuatan tanda tangan elektronik dibuat secara unik yang hanya merujuk kepada penandatanganan.
Sama dengan tanda tangan manual, tanda tangan elektronik bersifat unik yakni tanda tangan elektronik seseorang akan berbeda dengan tanda tangan orang lain. Tanda tangan elektronik merupakan kombinasi dari fungsi hash dan enkripsi dengan metode asimetrik. Fungsi hash merupakan fungsi satu arah dan akan menghasilkan nilai unik untuk setiap data yang dimasukkan. Oleh karena itu, jika ada perubahan satu bit saja pada konten dokumen maka nilai hash yang dihasilkan akan berbeda. Nilai hash kemudian di enkripsi menggunakan private key untuk selanjutnya nilai dari hasil enkripsi tersebut adalah nilai signature dari suatu dokumen. Format dokumen elektronik yang paling sering digunakan untuk tanda tangan elektronik adalah PDF (Portable Document Format). PDF yang telah ditandatanggani dengan tanda tangan elektronik dapat diverifikasi dengan berbagai aplikasi yaitu aplikasi Adobe Acrobat DC, modul verifikasi pada Web OSD, Aplikasi Panter Versi 2.0 dan Aplikasi Veryds
Selain mengidentifikasi dan menverifikasi siapa pengirim atau penandatangan dokumen secara elektronik juga untuk memastikan keutuhan dari dokumen tersebut atau tidak ada perubahan dalam pengiriman dokumen. Jaminan autentifikasi dapat dilihat dari adanya hash function dalam tanda tangan elektronik sehingga penerima data (recipient) dapat melakukan perbandingan hash value. Apabila hash value sama dan sesuai maka data tersebut benar-benar otentik dalam arti tidak pernah terjadi suatu tindak perubahan data pada saat pengiriman maka autentifikasi dapat terjamin. Namun apabila tidak sama atau terjadi perubahan hash value maka patut dicurigai telah terjadi modifikasi data.
Disinilah letak salah satu kelebihan tanda tangan elektronik dibandingkan tanda tangan manual dimana jika terjadi perubahan pada dokumen, apapun itu baik tulisan (walaupun hanya 1 karakter), ataupun metadata maka tanda tangan elektronik menjadi tidak lagi valid sehingga data atau dokumen lebih terjamin dari modifikasi oleh pihak yang tidak berwenang. Hal ini tentu saja lebih memudahkan dalam proses pembuktian dibandingkan dengan tanda tangan manual yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium forensik untuk membuktikan keasliannya. Selanjutnya mengenai kekuatan hukum dan akibat hukum, tanda tangan elektronik disamakan dengan tanda tangan manual sebagaimana dijamin dalam penjelasan Pasal 11 UU ITE. Maka Pasal 1869 jo Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1 Ordonansi 1867 No. 29 juga berlaku pada tanda tangan elektronik sehingga dengan diberi tanda tangan elektronik maka dokumen elektronik tersebut memilki kekuatan hukum. Dengan menandatangani, menunjukkan persetujuan penandatanggan atas informasi atau dokumen elektronik yang ditandatangganinya sekaligus menjamin kebenaran isi yang tercantum dalam tulisan tersebut.
Untuk dapat memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah maka tanda tangan elektronik harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 11 ayat (1) UU ITE yaitu:
- Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penandatangan;
- Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan hanya berada dalam kuasa penandatangan
- Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatangganan dapat diketahui
- Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terakit dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatangganan dapat diketahui
- Terdapat cara tertentu yang dapat diapakai untuk mengindetifikasi siapa penandatangganannya; dan
- Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penadatangganan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkai.
Tanda tangan elektronik terbagi dua macam yaitu tanda tangan tersertifikasi dan tidak tersertifikasi. Tanda tangan yang tidak tersetifikasi mempunyai kekuatan pembuktian yang lemah dibandingkan tanda tangan yang tersertifikasi. Sertifikasi tanda tangan elektronik diterbitkan oleh jasa penyelenggara sertifikasi elektronik dan dibuktikan dengan sertifikat elektronik. Penyelenggara sertifikat elektronik terdiri atas penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia dan penyelenggara sertifikasi elektronik asing. Setiap penyelenggara sertifikasi elektronik harus mendapat pengakuan dari menteri komunikasi dan informatika. Dari pihak pemerintah, saat ini terdapat beberapa kementrian/lembaga yang menerbitkan sertifikat elektronik yakni Dirjen Pajak, Lembaga Sandi Negara (BSSN), dan IPTEKnet BPPT.
Mahkamah Agung mempunyai visi untuk mewujudkan Badan Peradilan Indonesia yang Agung. Oleh karenanya, untuk mewujudkan hal tersebut Mahkamah Agung dan jajaran Pengadilan di bawahnya senantiasa terus berupaya memperbaiki, menata, dan meningkatkan mutu kelembagaannya. Bahwa sebagai wujud nyata terhadap pelaksanaan aspek penjaminan kualitas dan mutu lembaga peradilan tersebut, maka Mahkamah Agung melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) di bawahnya membentuk suatu Tim Akreditasi Penjaminan Mutu (TAPM) yang bertugas untuk melakukan penilaian akreditasi penjaminan mutu. Proses akreditasi penjaminan mutu tersebut sendiri telah berlangsung sekitar sejak tahun 2015, khususnya yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum).
Program Akreditasi Penjaminan Mutu Badilum ini merupakan suatu penilaian menyeluruh yang dilakukan oleh Tim Akreditasi Penjaminan Mutu (TAPM) Ditjen Badilum, guna menentukan peringkat dan sekaligus sebagai bentuk pengakuan terhadap kualitas penyelenggaraan seluruh aktivitas penjaminan mutu pada Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Selain itu, akreditasi penjaminan mutu ini juga merupakan bagian daripada proses pembinaan yang dikemas secara inovatif, terstruktur, sistemik dan berkelanjutan. Tujuan terhadap proses akreditasi ini tidak lain adalah demi terwujudnya performa Badan Peradilan Indonesia yang unggul/Prima (Indonesian Court Performance-Excellent/ICP-E) melalui penilaian terhadap 7 Kriteria utama, yaitu Kepemimpinan (Leadership), Perencanaan Strategis (Strategic Planning), Fokus Pelanggan (Customer Focus), Manajemen Sumberdaya (Resounces Management), Proses Manajemen (Management Process), Sistem Dokumen (Document System), dan Hasil Kinerja (Performance Result).
Selanjutnya, setelah selesai dilakukan proses penilaian oleh Tim Akreditasi Penjaminan Mutu (TAPM) tersebut, maka dilakukan proses sertifikasi yang berupa keputusan Komite Pengambil Keputusan Akreditasi Ditjen Badilum atas penilaian hasil audit/assessment Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri dalam bentuk pemberian predikat akreditasi dalam bentuk sertifikat. Predikat akreditasi tersebut dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu Predikat A (excellent), Predikat B (Good Performance), Predikat C (improve commitment), dan Predikat D (Disclaimer).
Mahkamah Agung pada hari Jumat, tanggal 13 Juli 2018 yang lalu baru saja kembali menyelenggarakan acara pemberian sertifikat akreditasi kepada empat (4) lingkungan Peradilan di Ball Room Hotel Novotel Balikpapan. Pada acara tersebut, Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H. didampingi oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial dan Non Yudisial, Dirjen Badan Peradilan Umum, Dijen Badan Peradilan Agama, serta Dirjen Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara telah menyerahkan sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu kepada 6 (enam) Pengadilan Tinggi, 13 (tiga belas) Pengadilan Tinggi Agama, 91 (sembilan puluh satu) Pengadilan Negeri, 132 (seratus tiga puluh dua) Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah, 12 (dua belas) Pengadilan Tata Usaha Negara, dan 7 (tujuh) Pengadilan Militer.
Pada acara tersebut, Pengadilan Negeri Sigli adalah salah satu badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung yang turut mendapatkan sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung dan Direktur Jendral Badilum. Pada acara tersebut juga, Alhamdulillah Pengadilan Negeri Sigli berhasil memperoleh sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu dengan Predikat A (excellent). Predikat A (excellent) tersebut adalah predikat tertinggi yang diberikan oleh Mahkamah Agung dan Ditjen Badilum kepada seluruh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi yang diantaranya setelah melalui tahapan penilaian oleh Tim Akreditasi Penjaminan Mutu (TAPM). Hal tersebut artinya, Pengadilan Negeri Sigli telah berhasil melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan standar dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Pencapaian dan keberhasilan Pengadilan Negeri Sigli tersebut di atas, tidak lepas dari adanya bantuan, kerjasama, kekompakkan, dan peran serta dari seluruh unsur keluarga besar Pengadilan Negeri Sigli tanpa terkecuali dalam menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya secara profesional, berintegritas, baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang ada. Selain itu, keberhasilan tersebut juga dikarenakan Pengadilan Negeri Sigli telah menjalankan aspek-aspek yang menjadi kewajibannya, seperti halnya melakukan pembinaan/sosialisasi secara rutin khususnya terhadap aspek perubahan paradigma budaya kerja, pelaksanaan Reformasi Birokrasi, melakukan pembangunan zona integritas, melakukan pembenahan dan peningkatan pelayanan publik dengan orientasi untuk mewujudkan pelayanan publik yang prima seperti halnya melalui PTSP, melakukan pembenahan dan perbaikan administrasi perkara dan kantor, melaksanakan pengawasan internal secara berjenjang, berkomitmen melaksanakan isi dokumen penjaminan mutu yang telah dibuat dan disahkan, melakukan pelaksanaan survei kepuasan masyarakat, melakukan audit internal, melaksanakan tinjauan manajemen dan analisis jabatan, serta melakukan aspek-aspek lainnya.
Oleh karenanya, saya selaku Ketua Pengadilan Negeri Sigli mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Safri, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sigli maupun Quality Management Representative (QMR), seluruh Hakim Pengadilan Negeri Sigli, seluruh unsur pimpinan dan staf pada bagian Kepaniteraan maupun Kesekretariatan Pengadilan Negeri Sigli, seluruh Calon Hakim, dan seluruh Honorer yang semuanya telah berperan besar atas pencapaian ini. Selain itu, saya juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Bapak Bakhtiar, S.H. selaku mantan Ketua Pengadilan Negeri Sigli sebelumnya yang telah merintis dan berjasa pada masa kepemimpinannya dalam mendukung kegiatan akreditasi ini, sehingga Pengadilan Negeri Sigli berhasil mendapatkan sertifikat akreditasi dengan Predikat A (excellent).
Bahwa dengan adanya pencapaian ini juga, Kami segenap keluarga besar Pengadilan Negeri Sigli berkomitmen untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan kualitas mutu Pengadilan Negeri Sigli agar dapat menjadi lebih baik, sehingga kedepannya Pengadilan Negeri Sigli diharapkan dapat meningkatan prestasinya dengan terdaftar menjadi anggota International Consortium for Court Excellent (ICCE), sebagai wujud/bentuk pengakuan dari dunia internasional.
Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disebut “MA”) selalu senantiasa terus menerus berbenah dan berinovasi dalam rangka mewujudkan kewibawaan dan martabat lembaga peradilan dan upaya pencegahan pelanggaran serta mempercepat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme dan untuk meningkatkan pelayanan peradilan pada masyarakat pencari keadilan. Oleh sebab itu, sebagai wujud konkrit pelaksanaannya, MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System) Di Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Dibawahnya (selanjutnya disebut “Perma No. 09 Tahun 2016”). Melalui Perma No. 09 Tahun 2016 tersebut, MA ingin mendorong peran serta masyarakat untuk lebih terlibat dalam rangka mencegah pelanggaran, serta mempercepat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme dan untuk meningkatan pelayanan peradilan. Bagi Masyarakat yang melihat dan/atau mengetahui adanya pelanggaran hukum ataupun ketidakpuasannya terhadap aparatur Pengadilan dapat melakukan pengaduan/melaporkan kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disebut “BAWAS”).
Ruang lingkup laporan pengaduan tersebut antara lain, meliputi laporan yang mengandung informasi atau indikasi terjadinya Pelanggaran terhadap Kode Etik dan pedoman perilaku Hakim, Pelanggaran Kode Etik dan pedoman perilaku Panitera dan Jurusita, Pelanggaran terhadap Kode Etik dan kode perilaku pegawai Aparatur Sipil Negara, Pelanggaran hukum acara atau Pelanggaran terhadap disiplin Pegawai Negeri Sipil atau peraturan disiplin militer, maladministrasi dan pelayanan publik dan/atau Pelanggaran pengelolaan keuangan dan Barang Milik Negara. Selanjutnya, setelah dilakukan penerimaan atas laporan pengaduan tersebut akan dilakukan pencatatan, penelaahan, penyaluran, konfirmasi, klarifikasi, penelitian, pemeriksaan, pelaporan, tindak lanjut, dan pengarsipan. Laporan pengaduan tersebut pada dasarnya dapat dilakukan melalui aplikasi SIWAS MA-RI pada situs Mahkamah Agung, layanan pesan singkat/SMS, surat elektronik (e-mail), faksimile, telepon, meja Pengaduan, surat; dan/atau kotak Pengaduan. Mahkamah Agung melalui BAWAS saat ini terus mengembangkan dan menyempurnakan aplikasi SIWAS MA-RI sebagai inovasi utama sekaligus ujung tombak pelaksanaan laporan pengaduan baik dari masyarakat, instansi Pemerintah/swasta, maupun dari internal Mahkamah Agung sendiri terhadap para Aparatur Pengadilan yang melakukan penyimpangan/pelanggaran hukum atau kode etik.
Aplikasi SIWAS ini merupakan situs online whistleblowing system yang tidak lain merupakan salah satu media utama pelaksanaan dari Perma No. 09 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Whistleblowing System di MA dan Badan Peradilan di bawahnya. Fitur SIWAS ini dapat menerima pelaporan atau pengaduan dari masyarakat, instansi pemerintahan/swasta, ataupun internal pengadilan mengenai dugaan pelanggaran-pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), panitera, jurusita dan pegawai pengadilan. Pembentukan dan pengembangan aplikasi SIWAS ini memiliki fungsi utama adalah untuk senantiasa melakukan peningkatan sistem pengawasan publik terhadap perilaku aparatur peradilan, serta sebagai upaya untuk menjaga marwah pengadilan di mata publik.
Oleh sebab itu, dengan adanya Perma No. 09 Tahun 2016, maka diharapkan seluruh komponen Aparatur Mahkamah Agung dan seluruh lembaga Peradilan di bawahnya tanpa terkecuali, dapat senantiasa menjaga harkat dan martabat lembaga peradilan dengan tidak mencoreng nama baik lembaga peradilan melalui segala jenis tindakan negatif apapun, dan dapat turut serta mempercepat upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme khususnya di dalam lembaga Peradilan, serta dapat senantiasa meningkatkan pelayanan peradilan pada masyarakat dan pencari keadilan.
Reformasi Birokrasi mempunyai arti yang sangat penting dalam rangka memajukan negara dalam berbagai sektornya, khususnya pada aspek peningkatan pelayanan publik. Oleh karenanya, penjalanan Reformasi Birokrasi haruslah dijalankan oleh seluruh lingkup Pemerintahan baik dalam sektor eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebagaimana dikutip dalam laman website Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Reformasi birokrasi sendiri pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
Mahkamah Agung sebagai salah satu unsur utama kekuasaan yudikatif, sangatlah menekankan pada aspek pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Hal tersebut tercermin sebagaimana dalam Road Map Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia 2015-2019. Dijelaskan sebagaimana dalam Road Map Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung tersebut bahwa, dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi (RB), Mahkamah Agung memandang bahwa Reformasi Birokrasi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari reformasi peradilan. Oleh karenanya pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Mahkamah Agung menempati prioritas penting dalam upaya mencapai visi Mahkamah Agung, yaitu “Menjadi Badan Peradilan yang Agung”. Mahkamah Agung telah sangat menyadari bahwa sebenarnya pekerjaan terberat dalam perubahan tersebut terletak pada aspek perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) segenap aparatur badan peradilan.
Bahwa adanya upaya melakukan perubahan, khususnya pada aspek pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) segenap aparatur badan peradilan, terlihat dari keseriusan Mahkamah Agung dalam melakukan perubahan atau pembaruan di semua aspek secara hampir bersamaan melalui 8 (delapan) area perubahan, yaitu :
- Area I Manajemen Perubahan
- Area II Peraturan Perundang-undangan
- Area III Organisasi
- Area IV Tatalaksana
- Area V Manajemen Sumber Daya Manusia
- Area VI Akuntabilitas
- Area VII Pengawasan
- Area VIII Pelayanan Publik
Bahwa melalui penekanan utama terhadap 8 (delapan) area perubahan sebagaimana di atas, Mahkamah Agung juga mempunyai sasaran dalam hal upaya peningkatkan kapasitas dan akuntabilitas organisasi, pemerintah yang bersih dan bebas KKN, serta peningkatan pelayanan publik yang mana sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi. Bahkan dalam Pembukaan Acara Pendalaman Zona Integritas Mahkamah Agung RI dan Badan Peradilan Di Bawahnya Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM), Sekretaris Mahkamah Agung, Bapak Achmad Setyo Pudjoharsoyo, menyampaikan bahwa reformasi birokrasi di Mahkamah Agung haruslah dijalankan dengan baik, dan jangan hanya sekedar bersifat formalitas dalam mengumpulkan evidence (bukti dukung), akan tetapi harus juga meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat.
Sekretaris Mahkamah Agung juga mengingatkan, bahwa Reformasi Birokrasi bukan berarti semata-mata berbangga dengan menjadi pengadilan yang modern, tetapi yang paling penting adalah komitmen kuat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karenanya, setiap Pengadilan diwajibkan melakukan pembangunan zona integritas dalam rangka menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).
Sehubungan dengan hal di atas, Pengadilan Negeri Sigli sebagai jajaran lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung senantiasa mendukung dan berkomitmen penuh melaksanakan Reformasi Birokrasi yang telah dicanangkan oleh Mahkamah Agung. Perubahan-perubahan yang telah coba diterapkan tersebut, diantaranya dilakukan dalam aspek perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) yang mana bekerja harus dilakukan dengan sepenuh hati, ikhlas, dan profesional oleh segenap aparatur badan peradilan. Hal tersebut secara garis besarnya sebagaimana tercermin pada motto Pengadilan Negeri Sigli, yaitu “SEHAT” (Sederhana, Efektif, Handal, Akuntabel, dan Transparan).
Motto tersebut di atas, tidaklah hanya sekedar slogan belaka, melainkan telah coba senantiasa secara konsisten untuk diterapkan dalam seluruh kegiatan sehari-harinya. Salah satu wujud konkritnya adalah dengan telah dilaksanakannya penerapan Zona Integritas di Pengadilan Negeri Sigli. Dimana Pengadilan Negeri Sigli telah berupaya keras membangun dan senantiasa berkomitmen untuk menerapkan Zona Integritas. Pembangunan Zona Integritas tersebut dilakukan agar Pengadilan Negeri Sigli dapat menjadi Wilayah Yang Bebas Dari Korupsi (WBK) Dan dapat menjadi Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). Sehingga dengan demikian, maka harapannya zona integritas bukanlah lagi menjadi slogan semata, melainkan sudah menjadi suatu bukti/wujud dari keseriusan dan komitmen dari segenap perilaku Aparatur Pengadilan Negeri Sigli guna mewujudkan tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dalam rangka mewujudkan visi Mahkamah Agung untuk dapat menjadi Badan Peradilan Yang Agung.
Mahkamah Agung sudah sejak lama konsisten menunjukkan sikap dan upaya dalam memberantas tindak pidana korupsi pada lembaga dan jajarannya. Salah satu bukti nyata keseriusan Pimpinan Mahkamah Agung dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut nampak terlihat pada adanya perintah kepada seluruh Pimpinan Mahkamah Agung, Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding dan Pimpinan Pengadilan Tingkat Pertama untuk senantiasa terus mensosialisasikan dan melakukan pembinaan, serta pengawasan secara rutin, berjenjang dan berkelanjutan. Hal tersebut artinya, seluruh Aparatur Pengadilan tanpa terkecuali diwajibkan untuk senantiasa dapat menjaga integritas, profesionalisme, tanggung jawab, dan kejujurannya dalam bekerja.
Pada tahun 2017, Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan Maklumat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 01/Maklumat/KMA/IX/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya yang salah satu isinya menerangkan bahwa dalam rangka menyikapi berbagai kejadian yang mencoreng wibawa Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya, Ketua Mahkamah Agung menegaskan kembali dan memerintahkan kepada para Pimpinan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya secara berjenjang untuk senantiasa meningkatkan efektivitas pencegahan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas atau pelanggaran perilaku Hakim dan Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya dengan melakukan pengawasan dan pembinaan baik di dalam maupun di luar kedinasan secara berkala dan berkesinambungan. Selanjutnya, memastikan tidak ada lagi Hakim dan Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya melakukan perbuatan yang merendahkan wibawa, kehormatan dan martabat Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya.
Maklukmat tersebut, selain sebagai suatu himbauan sekaligus bentuk ultimatum keras kepada seluruh Hakim, Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya untuk menaati Maklumat Ketua Mahkamah Agung tersebut, dan untuk tidak main-main terhadap perilaku korupsi dalam bentuk apapun baik berupa suap, gratifikasi, dan lainnya. Hal tersebut terlihat dari ancaman yang diberikan apabila tidak mengindahkan dan melanggar Maklumat Ketua Mahkamah Agung tersebut yang sangatlah serius, dimana Mahkamah Agung akan memberhentikan Pimpinan Mahkamah Agung atau Pimpinan Badan Peradilan di bawahnya secara berjenjang dari jabatannya selaku atasan langsung, apabila ditemukan bukti bahwa proses pengawasan dan pembinaan oleh pimpinan tersebut tdak dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan. Selain itu, Mahkamah Agung tidak akan memberikan bantuan hukum kepada Hakim dan Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya yang diduga melakukan tindak pidana dan diproses di Pengadilan.
Oleh karenanya, pelaksanaan Maklumat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 01/Maklumat/KMA/IX/2017 menjadi sangatlah penting untuk dilaksanakan, karena selain sebagai bentuk bentuk ketaatan terhadap Maklumat Ketua Mahkamah Agung juga sebagai wujud penerapan adanya sikap integritas, tanggung jawab, profesionalisme, dan kejujuran dalam bekerja. Sehingga Pimpinan Pengadilan secara berjenjang haruslah segera melakukan tindakan nyata untuk senantiasa melakukan pembinaan dan pengawasan kepada seluruh jajaran di bawahnya. Hal tersebut penting agar adanya upaya-upaya yang bersifat preventif dalam upaya memberantas terjadinya tindak pidana korupsi, dan tindakan-tindakan lainnya kejadian yang dapat mencoreng wibawa Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya.