Kalangan akademisi menilai Peraturan Mahkama Agung (PERMA) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi diperkirakan masih menimbulkan persoalan dalam praktik. Sebaliknya, kalangan aparat penegak hukum, seperti Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan mengaku optimis PERMA Kejahatan Korporasi ini pengadilan ini dapat diterapkan secara efektif.
Mantan Ketua Tim Kelompok Kerja (Pokja) MA Penyusunan PERMA Kejahatan Korporasi Prof Surya Jaya mengatakan meski sejumlah Undang-Undang (UU) sejak lama bisa menjerat korporasi yang diduga melakukan tindak pidana. Namun, selama ini aparat penegak hukum belum memiliki visi, pemahaman, dan pedoman yang sama dalam upaya menjerat korporasi jahat.
Karena itu, terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi ini diharapkan dapat mengatasi segala kendala dan kesulitan aparat penegak hukum dalam upaya menjerat korporasi selama ini,” kata Prof Surya Jaya di ruang kerjanya, Selasa (17/1) lalu.
Dia mengaku optimis PERMA Kejahatan Korporasi ini dapat diterapkan secara efektif dalam praktik. Sebab, pengaturan PERMA Kejahatan Korporasi ini sudah cukup baik guna melengkapi peraturan yang sudah ada dalam upaya menindak korporasi jahat. “Materi PERMA ini sudah pas, jadi saya pikir tidak kendala menerapkan aturan ini. Tinggal butuh komitmen dan pemahaman yang sama saja,” kata dia.
Dia mengingatkan kehadiran PERMA Kejahatan Korporasi ini tidak melulu berorientasi pada penghukuman. Justru, terbitnya PERMA ini untuk memberi kepastian dan perlindungan hukum terhadap korporasi yang baik. Tentu, kehadiran PERMA ini sekaligus mendukung terciptanya prinsip good corporate governance.
“Kalau merasa pengelolaan korporasi itu baik, tidak perlu takut dihukum. Ini hanya guidance (pedoman) agar pengelolaan korporasi menjadi lebih baik dan bisa memberi kontribusi bagi masyarakat dan negara. Jadi, sebenarnya PERMA ini sangat baik bagi korporasi dalam upaya pencegahan,” jelasnya.
Meski begitu, bagaimanapun terhadap korporasi-korporasi “nakal” ini tetap harus dihukum sepanjang bisa dibuktikan actus reus dan mens rea pengurus korporasinya. Namun, mesti diingat bisa saja pengurus korporasi melakukan tindak pidana hanya menguntungkan kepentingan pribadinya, bukan menguntungkan korporasi, maka korporasi tidak bisa dipidana.
“Meski ada teori identifikasi, perbuatan (niat) jahat pengurus otomatis menjadi tanggung jawab korporasi sepanjang ada keterkaitan dan kepentingan korporasi. Ini kan case by case, sehingga dibutuhkan kehati-hatian dan kecermatan aparat penegak hukum untuk menentukan siapa yang sebenarnya paling bertanggung jawab.”