Tanda tangan elektronik berfungsi sebagai alat untuk memverifikasi dan autentifikasi atas identitas penandatangganan sekaligus untuk menjamin keutuhan dan keautentikan dokumen. Tanda tangan elektronik mempresentasikan identitas penandatanganan yang diverifikasi berdasarkan data pembuatan tanda tangan elektronik dimana data pembuatan tanda tangan elektronik dibuat secara unik yang hanya merujuk kepada penandatanganan.
Sama dengan tanda tangan manual, tanda tangan elektronik bersifat unik yakni tanda tangan elektronik seseorang akan berbeda dengan tanda tangan orang lain. Tanda tangan elektronik merupakan kombinasi dari fungsi hash dan enkripsi dengan metode asimetrik. Fungsi hash merupakan fungsi satu arah dan akan menghasilkan nilai unik untuk setiap data yang dimasukkan. Oleh karena itu, jika ada perubahan satu bit saja pada konten dokumen maka nilai hash yang dihasilkan akan berbeda. Nilai hash kemudian di enkripsi menggunakan private key untuk selanjutnya nilai dari hasil enkripsi tersebut adalah nilai signature dari suatu dokumen. Format dokumen elektronik yang paling sering digunakan untuk tanda tangan elektronik adalah PDF (Portable Document Format). PDF yang telah ditandatanggani dengan tanda tangan elektronik dapat diverifikasi dengan berbagai aplikasi yaitu aplikasi Adobe Acrobat DC, modul verifikasi pada Web OSD, Aplikasi Panter Versi 2.0 dan Aplikasi Veryds
Selain mengidentifikasi dan menverifikasi siapa pengirim atau penandatangan dokumen secara elektronik juga untuk memastikan keutuhan dari dokumen tersebut atau tidak ada perubahan dalam pengiriman dokumen. Jaminan autentifikasi dapat dilihat dari adanya hash function dalam tanda tangan elektronik sehingga penerima data (recipient) dapat melakukan perbandingan hash value. Apabila hash value sama dan sesuai maka data tersebut benar-benar otentik dalam arti tidak pernah terjadi suatu tindak perubahan data pada saat pengiriman maka autentifikasi dapat terjamin. Namun apabila tidak sama atau terjadi perubahan hash value maka patut dicurigai telah terjadi modifikasi data.
Disinilah letak salah satu kelebihan tanda tangan elektronik dibandingkan tanda tangan manual dimana jika terjadi perubahan pada dokumen, apapun itu baik tulisan (walaupun hanya 1 karakter), ataupun metadata maka tanda tangan elektronik menjadi tidak lagi valid sehingga data atau dokumen lebih terjamin dari modifikasi oleh pihak yang tidak berwenang. Hal ini tentu saja lebih memudahkan dalam proses pembuktian dibandingkan dengan tanda tangan manual yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium forensik untuk membuktikan keasliannya. Selanjutnya mengenai kekuatan hukum dan akibat hukum, tanda tangan elektronik disamakan dengan tanda tangan manual sebagaimana dijamin dalam penjelasan Pasal 11 UU ITE. Maka Pasal 1869 jo Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 1 Ordonansi 1867 No. 29 juga berlaku pada tanda tangan elektronik sehingga dengan diberi tanda tangan elektronik maka dokumen elektronik tersebut memilki kekuatan hukum. Dengan menandatangani, menunjukkan persetujuan penandatanggan atas informasi atau dokumen elektronik yang ditandatangganinya sekaligus menjamin kebenaran isi yang tercantum dalam tulisan tersebut.
Untuk dapat memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah maka tanda tangan elektronik harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 11 ayat (1) UU ITE yaitu:
- Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penandatangan;
- Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan hanya berada dalam kuasa penandatangan
- Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatangganan dapat diketahui
- Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terakit dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatangganan dapat diketahui
- Terdapat cara tertentu yang dapat diapakai untuk mengindetifikasi siapa penandatangganannya; dan
- Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penadatangganan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkai.
Tanda tangan elektronik terbagi dua macam yaitu tanda tangan tersertifikasi dan tidak tersertifikasi. Tanda tangan yang tidak tersetifikasi mempunyai kekuatan pembuktian yang lemah dibandingkan tanda tangan yang tersertifikasi. Sertifikasi tanda tangan elektronik diterbitkan oleh jasa penyelenggara sertifikasi elektronik dan dibuktikan dengan sertifikat elektronik. Penyelenggara sertifikat elektronik terdiri atas penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia dan penyelenggara sertifikasi elektronik asing. Setiap penyelenggara sertifikasi elektronik harus mendapat pengakuan dari menteri komunikasi dan informatika. Dari pihak pemerintah, saat ini terdapat beberapa kementrian/lembaga yang menerbitkan sertifikat elektronik yakni Dirjen Pajak, Lembaga Sandi Negara (BSSN), dan IPTEKnet BPPT.
Mahkamah Agung mempunyai visi untuk mewujudkan Badan Peradilan Indonesia yang Agung. Oleh karenanya, untuk mewujudkan hal tersebut Mahkamah Agung dan jajaran Pengadilan di bawahnya senantiasa terus berupaya memperbaiki, menata, dan meningkatkan mutu kelembagaannya. Bahwa sebagai wujud nyata terhadap pelaksanaan aspek penjaminan kualitas dan mutu lembaga peradilan tersebut, maka Mahkamah Agung melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) di bawahnya membentuk suatu Tim Akreditasi Penjaminan Mutu (TAPM) yang bertugas untuk melakukan penilaian akreditasi penjaminan mutu. Proses akreditasi penjaminan mutu tersebut sendiri telah berlangsung sekitar sejak tahun 2015, khususnya yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum).
Program Akreditasi Penjaminan Mutu Badilum ini merupakan suatu penilaian menyeluruh yang dilakukan oleh Tim Akreditasi Penjaminan Mutu (TAPM) Ditjen Badilum, guna menentukan peringkat dan sekaligus sebagai bentuk pengakuan terhadap kualitas penyelenggaraan seluruh aktivitas penjaminan mutu pada Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Selain itu, akreditasi penjaminan mutu ini juga merupakan bagian daripada proses pembinaan yang dikemas secara inovatif, terstruktur, sistemik dan berkelanjutan. Tujuan terhadap proses akreditasi ini tidak lain adalah demi terwujudnya performa Badan Peradilan Indonesia yang unggul/Prima (Indonesian Court Performance-Excellent/ICP-E) melalui penilaian terhadap 7 Kriteria utama, yaitu Kepemimpinan (Leadership), Perencanaan Strategis (Strategic Planning), Fokus Pelanggan (Customer Focus), Manajemen Sumberdaya (Resounces Management), Proses Manajemen (Management Process), Sistem Dokumen (Document System), dan Hasil Kinerja (Performance Result).
Selanjutnya, setelah selesai dilakukan proses penilaian oleh Tim Akreditasi Penjaminan Mutu (TAPM) tersebut, maka dilakukan proses sertifikasi yang berupa keputusan Komite Pengambil Keputusan Akreditasi Ditjen Badilum atas penilaian hasil audit/assessment Pengadilan Tinggi atau Pengadilan Negeri dalam bentuk pemberian predikat akreditasi dalam bentuk sertifikat. Predikat akreditasi tersebut dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu Predikat A (excellent), Predikat B (Good Performance), Predikat C (improve commitment), dan Predikat D (Disclaimer).
Mahkamah Agung pada hari Jumat, tanggal 13 Juli 2018 yang lalu baru saja kembali menyelenggarakan acara pemberian sertifikat akreditasi kepada empat (4) lingkungan Peradilan di Ball Room Hotel Novotel Balikpapan. Pada acara tersebut, Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, S.H., M.H. didampingi oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial dan Non Yudisial, Dirjen Badan Peradilan Umum, Dijen Badan Peradilan Agama, serta Dirjen Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara telah menyerahkan sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu kepada 6 (enam) Pengadilan Tinggi, 13 (tiga belas) Pengadilan Tinggi Agama, 91 (sembilan puluh satu) Pengadilan Negeri, 132 (seratus tiga puluh dua) Pengadilan Agama/Mahkamah Syariyah, 12 (dua belas) Pengadilan Tata Usaha Negara, dan 7 (tujuh) Pengadilan Militer.
Pada acara tersebut, Pengadilan Negeri Sigli adalah salah satu badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung yang turut mendapatkan sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung dan Direktur Jendral Badilum. Pada acara tersebut juga, Alhamdulillah Pengadilan Negeri Sigli berhasil memperoleh sertifikasi Akreditasi Penjaminan Mutu dengan Predikat A (excellent). Predikat A (excellent) tersebut adalah predikat tertinggi yang diberikan oleh Mahkamah Agung dan Ditjen Badilum kepada seluruh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi yang diantaranya setelah melalui tahapan penilaian oleh Tim Akreditasi Penjaminan Mutu (TAPM). Hal tersebut artinya, Pengadilan Negeri Sigli telah berhasil melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan standar dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Pencapaian dan keberhasilan Pengadilan Negeri Sigli tersebut di atas, tidak lepas dari adanya bantuan, kerjasama, kekompakkan, dan peran serta dari seluruh unsur keluarga besar Pengadilan Negeri Sigli tanpa terkecuali dalam menjalankan tugas, pokok, dan fungsinya secara profesional, berintegritas, baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang ada. Selain itu, keberhasilan tersebut juga dikarenakan Pengadilan Negeri Sigli telah menjalankan aspek-aspek yang menjadi kewajibannya, seperti halnya melakukan pembinaan/sosialisasi secara rutin khususnya terhadap aspek perubahan paradigma budaya kerja, pelaksanaan Reformasi Birokrasi, melakukan pembangunan zona integritas, melakukan pembenahan dan peningkatan pelayanan publik dengan orientasi untuk mewujudkan pelayanan publik yang prima seperti halnya melalui PTSP, melakukan pembenahan dan perbaikan administrasi perkara dan kantor, melaksanakan pengawasan internal secara berjenjang, berkomitmen melaksanakan isi dokumen penjaminan mutu yang telah dibuat dan disahkan, melakukan pelaksanaan survei kepuasan masyarakat, melakukan audit internal, melaksanakan tinjauan manajemen dan analisis jabatan, serta melakukan aspek-aspek lainnya.
Oleh karenanya, saya selaku Ketua Pengadilan Negeri Sigli mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Safri, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua Pengadilan Negeri Sigli maupun Quality Management Representative (QMR), seluruh Hakim Pengadilan Negeri Sigli, seluruh unsur pimpinan dan staf pada bagian Kepaniteraan maupun Kesekretariatan Pengadilan Negeri Sigli, seluruh Calon Hakim, dan seluruh Honorer yang semuanya telah berperan besar atas pencapaian ini. Selain itu, saya juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Bapak Bakhtiar, S.H. selaku mantan Ketua Pengadilan Negeri Sigli sebelumnya yang telah merintis dan berjasa pada masa kepemimpinannya dalam mendukung kegiatan akreditasi ini, sehingga Pengadilan Negeri Sigli berhasil mendapatkan sertifikat akreditasi dengan Predikat A (excellent).
Bahwa dengan adanya pencapaian ini juga, Kami segenap keluarga besar Pengadilan Negeri Sigli berkomitmen untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan kualitas mutu Pengadilan Negeri Sigli agar dapat menjadi lebih baik, sehingga kedepannya Pengadilan Negeri Sigli diharapkan dapat meningkatan prestasinya dengan terdaftar menjadi anggota International Consortium for Court Excellent (ICCE), sebagai wujud/bentuk pengakuan dari dunia internasional.
Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disebut “MA”) selalu senantiasa terus menerus berbenah dan berinovasi dalam rangka mewujudkan kewibawaan dan martabat lembaga peradilan dan upaya pencegahan pelanggaran serta mempercepat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme dan untuk meningkatkan pelayanan peradilan pada masyarakat pencari keadilan. Oleh sebab itu, sebagai wujud konkrit pelaksanaannya, MA mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System) Di Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Dibawahnya (selanjutnya disebut “Perma No. 09 Tahun 2016”). Melalui Perma No. 09 Tahun 2016 tersebut, MA ingin mendorong peran serta masyarakat untuk lebih terlibat dalam rangka mencegah pelanggaran, serta mempercepat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme dan untuk meningkatan pelayanan peradilan. Bagi Masyarakat yang melihat dan/atau mengetahui adanya pelanggaran hukum ataupun ketidakpuasannya terhadap aparatur Pengadilan dapat melakukan pengaduan/melaporkan kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disebut “BAWAS”).
Ruang lingkup laporan pengaduan tersebut antara lain, meliputi laporan yang mengandung informasi atau indikasi terjadinya Pelanggaran terhadap Kode Etik dan pedoman perilaku Hakim, Pelanggaran Kode Etik dan pedoman perilaku Panitera dan Jurusita, Pelanggaran terhadap Kode Etik dan kode perilaku pegawai Aparatur Sipil Negara, Pelanggaran hukum acara atau Pelanggaran terhadap disiplin Pegawai Negeri Sipil atau peraturan disiplin militer, maladministrasi dan pelayanan publik dan/atau Pelanggaran pengelolaan keuangan dan Barang Milik Negara. Selanjutnya, setelah dilakukan penerimaan atas laporan pengaduan tersebut akan dilakukan pencatatan, penelaahan, penyaluran, konfirmasi, klarifikasi, penelitian, pemeriksaan, pelaporan, tindak lanjut, dan pengarsipan. Laporan pengaduan tersebut pada dasarnya dapat dilakukan melalui aplikasi SIWAS MA-RI pada situs Mahkamah Agung, layanan pesan singkat/SMS, surat elektronik (e-mail), faksimile, telepon, meja Pengaduan, surat; dan/atau kotak Pengaduan. Mahkamah Agung melalui BAWAS saat ini terus mengembangkan dan menyempurnakan aplikasi SIWAS MA-RI sebagai inovasi utama sekaligus ujung tombak pelaksanaan laporan pengaduan baik dari masyarakat, instansi Pemerintah/swasta, maupun dari internal Mahkamah Agung sendiri terhadap para Aparatur Pengadilan yang melakukan penyimpangan/pelanggaran hukum atau kode etik.
Aplikasi SIWAS ini merupakan situs online whistleblowing system yang tidak lain merupakan salah satu media utama pelaksanaan dari Perma No. 09 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan Whistleblowing System di MA dan Badan Peradilan di bawahnya. Fitur SIWAS ini dapat menerima pelaporan atau pengaduan dari masyarakat, instansi pemerintahan/swasta, ataupun internal pengadilan mengenai dugaan pelanggaran-pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), panitera, jurusita dan pegawai pengadilan. Pembentukan dan pengembangan aplikasi SIWAS ini memiliki fungsi utama adalah untuk senantiasa melakukan peningkatan sistem pengawasan publik terhadap perilaku aparatur peradilan, serta sebagai upaya untuk menjaga marwah pengadilan di mata publik.
Oleh sebab itu, dengan adanya Perma No. 09 Tahun 2016, maka diharapkan seluruh komponen Aparatur Mahkamah Agung dan seluruh lembaga Peradilan di bawahnya tanpa terkecuali, dapat senantiasa menjaga harkat dan martabat lembaga peradilan dengan tidak mencoreng nama baik lembaga peradilan melalui segala jenis tindakan negatif apapun, dan dapat turut serta mempercepat upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme khususnya di dalam lembaga Peradilan, serta dapat senantiasa meningkatkan pelayanan peradilan pada masyarakat dan pencari keadilan.
Reformasi Birokrasi mempunyai arti yang sangat penting dalam rangka memajukan negara dalam berbagai sektornya, khususnya pada aspek peningkatan pelayanan publik. Oleh karenanya, penjalanan Reformasi Birokrasi haruslah dijalankan oleh seluruh lingkup Pemerintahan baik dalam sektor eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebagaimana dikutip dalam laman website Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Reformasi birokrasi sendiri pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional.
Mahkamah Agung sebagai salah satu unsur utama kekuasaan yudikatif, sangatlah menekankan pada aspek pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Hal tersebut tercermin sebagaimana dalam Road Map Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung Republik Indonesia 2015-2019. Dijelaskan sebagaimana dalam Road Map Reformasi Birokrasi Mahkamah Agung tersebut bahwa, dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi (RB), Mahkamah Agung memandang bahwa Reformasi Birokrasi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari reformasi peradilan. Oleh karenanya pelaksanaan Reformasi Birokrasi di Mahkamah Agung menempati prioritas penting dalam upaya mencapai visi Mahkamah Agung, yaitu “Menjadi Badan Peradilan yang Agung”. Mahkamah Agung telah sangat menyadari bahwa sebenarnya pekerjaan terberat dalam perubahan tersebut terletak pada aspek perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) segenap aparatur badan peradilan.
Bahwa adanya upaya melakukan perubahan, khususnya pada aspek pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) segenap aparatur badan peradilan, terlihat dari keseriusan Mahkamah Agung dalam melakukan perubahan atau pembaruan di semua aspek secara hampir bersamaan melalui 8 (delapan) area perubahan, yaitu :
- Area I Manajemen Perubahan
- Area II Peraturan Perundang-undangan
- Area III Organisasi
- Area IV Tatalaksana
- Area V Manajemen Sumber Daya Manusia
- Area VI Akuntabilitas
- Area VII Pengawasan
- Area VIII Pelayanan Publik
Bahwa melalui penekanan utama terhadap 8 (delapan) area perubahan sebagaimana di atas, Mahkamah Agung juga mempunyai sasaran dalam hal upaya peningkatkan kapasitas dan akuntabilitas organisasi, pemerintah yang bersih dan bebas KKN, serta peningkatan pelayanan publik yang mana sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi. Bahkan dalam Pembukaan Acara Pendalaman Zona Integritas Mahkamah Agung RI dan Badan Peradilan Di Bawahnya Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM), Sekretaris Mahkamah Agung, Bapak Achmad Setyo Pudjoharsoyo, menyampaikan bahwa reformasi birokrasi di Mahkamah Agung haruslah dijalankan dengan baik, dan jangan hanya sekedar bersifat formalitas dalam mengumpulkan evidence (bukti dukung), akan tetapi harus juga meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat.
Sekretaris Mahkamah Agung juga mengingatkan, bahwa Reformasi Birokrasi bukan berarti semata-mata berbangga dengan menjadi pengadilan yang modern, tetapi yang paling penting adalah komitmen kuat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karenanya, setiap Pengadilan diwajibkan melakukan pembangunan zona integritas dalam rangka menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).
Sehubungan dengan hal di atas, Pengadilan Negeri Sigli sebagai jajaran lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung senantiasa mendukung dan berkomitmen penuh melaksanakan Reformasi Birokrasi yang telah dicanangkan oleh Mahkamah Agung. Perubahan-perubahan yang telah coba diterapkan tersebut, diantaranya dilakukan dalam aspek perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture set) yang mana bekerja harus dilakukan dengan sepenuh hati, ikhlas, dan profesional oleh segenap aparatur badan peradilan. Hal tersebut secara garis besarnya sebagaimana tercermin pada motto Pengadilan Negeri Sigli, yaitu “SEHAT” (Sederhana, Efektif, Handal, Akuntabel, dan Transparan).
Motto tersebut di atas, tidaklah hanya sekedar slogan belaka, melainkan telah coba senantiasa secara konsisten untuk diterapkan dalam seluruh kegiatan sehari-harinya. Salah satu wujud konkritnya adalah dengan telah dilaksanakannya penerapan Zona Integritas di Pengadilan Negeri Sigli. Dimana Pengadilan Negeri Sigli telah berupaya keras membangun dan senantiasa berkomitmen untuk menerapkan Zona Integritas. Pembangunan Zona Integritas tersebut dilakukan agar Pengadilan Negeri Sigli dapat menjadi Wilayah Yang Bebas Dari Korupsi (WBK) Dan dapat menjadi Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). Sehingga dengan demikian, maka harapannya zona integritas bukanlah lagi menjadi slogan semata, melainkan sudah menjadi suatu bukti/wujud dari keseriusan dan komitmen dari segenap perilaku Aparatur Pengadilan Negeri Sigli guna mewujudkan tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dalam rangka mewujudkan visi Mahkamah Agung untuk dapat menjadi Badan Peradilan Yang Agung.
Mahkamah Agung sudah sejak lama konsisten menunjukkan sikap dan upaya dalam memberantas tindak pidana korupsi pada lembaga dan jajarannya. Salah satu bukti nyata keseriusan Pimpinan Mahkamah Agung dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut nampak terlihat pada adanya perintah kepada seluruh Pimpinan Mahkamah Agung, Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding dan Pimpinan Pengadilan Tingkat Pertama untuk senantiasa terus mensosialisasikan dan melakukan pembinaan, serta pengawasan secara rutin, berjenjang dan berkelanjutan. Hal tersebut artinya, seluruh Aparatur Pengadilan tanpa terkecuali diwajibkan untuk senantiasa dapat menjaga integritas, profesionalisme, tanggung jawab, dan kejujurannya dalam bekerja.
Pada tahun 2017, Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan Maklumat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 01/Maklumat/KMA/IX/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya yang salah satu isinya menerangkan bahwa dalam rangka menyikapi berbagai kejadian yang mencoreng wibawa Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya, Ketua Mahkamah Agung menegaskan kembali dan memerintahkan kepada para Pimpinan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya secara berjenjang untuk senantiasa meningkatkan efektivitas pencegahan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas atau pelanggaran perilaku Hakim dan Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya dengan melakukan pengawasan dan pembinaan baik di dalam maupun di luar kedinasan secara berkala dan berkesinambungan. Selanjutnya, memastikan tidak ada lagi Hakim dan Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya melakukan perbuatan yang merendahkan wibawa, kehormatan dan martabat Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya.
Maklukmat tersebut, selain sebagai suatu himbauan sekaligus bentuk ultimatum keras kepada seluruh Hakim, Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya untuk menaati Maklumat Ketua Mahkamah Agung tersebut, dan untuk tidak main-main terhadap perilaku korupsi dalam bentuk apapun baik berupa suap, gratifikasi, dan lainnya. Hal tersebut terlihat dari ancaman yang diberikan apabila tidak mengindahkan dan melanggar Maklumat Ketua Mahkamah Agung tersebut yang sangatlah serius, dimana Mahkamah Agung akan memberhentikan Pimpinan Mahkamah Agung atau Pimpinan Badan Peradilan di bawahnya secara berjenjang dari jabatannya selaku atasan langsung, apabila ditemukan bukti bahwa proses pengawasan dan pembinaan oleh pimpinan tersebut tdak dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan. Selain itu, Mahkamah Agung tidak akan memberikan bantuan hukum kepada Hakim dan Aparatur Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya yang diduga melakukan tindak pidana dan diproses di Pengadilan.
Oleh karenanya, pelaksanaan Maklumat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 01/Maklumat/KMA/IX/2017 menjadi sangatlah penting untuk dilaksanakan, karena selain sebagai bentuk bentuk ketaatan terhadap Maklumat Ketua Mahkamah Agung juga sebagai wujud penerapan adanya sikap integritas, tanggung jawab, profesionalisme, dan kejujuran dalam bekerja. Sehingga Pimpinan Pengadilan secara berjenjang haruslah segera melakukan tindakan nyata untuk senantiasa melakukan pembinaan dan pengawasan kepada seluruh jajaran di bawahnya. Hal tersebut penting agar adanya upaya-upaya yang bersifat preventif dalam upaya memberantas terjadinya tindak pidana korupsi, dan tindakan-tindakan lainnya kejadian yang dapat mencoreng wibawa Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya.
Bahwa pada era keterbukaan informasi publik saat ini, peradilan haruslah dijalankan secara kredibel dan transparan, terlebih terhadap aspek-aspek yang berkaitan informasi publik. Adanya transparansi dan kredibilitas merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan keterbukaan dan akuntablitas penyelenggaraan peradilan yang baik. Aspek keterbukaan informasi publik pula merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam rangka mewujudkan visi Mahkamah Agung untuk badan Peradilan Indonesia yang Agung. Dasar visi mewujudkan badan peradilan Indonesia yang agung tersebut dapat kita temui dalam cetak biru Mahkamah Agung 2010-2035. Dijelaskan dalam cetak biru pembahruan Mahkamah Agung tersebut, bahwa untuk dapat terwujudnya badan Peradilan Indonesia yang Agung, maka lembaga tersebut haruslah berprinsip pada orientasi pelayanan publik yang prima, dan memiliki manajemen informasi yang menjamin akuntabilitas, kredibilitas, serta transparansi.
Melalui keterbukaan informasi publik tersebut juga, Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya terus berusaha untuk konsisten dalam memperbaiki kredibilitas, dan citra kelembagaannya di mata publik. Upaya menjaga kredibilitas dan citra lembaga Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya antara lain dilakukan dengan peningkatan-peningkatan pada aspek pelayanan publik, kejelasan sistem karir, pemanfaatan sistem informasi teknologi, dan publikasi putusan-putusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Peningkatan upaya-upaya tersebut tidak lain sebagai wujud pertanggungjawaban publik. Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban pada publik, adanya transparansi juga akan berpengaruh pada internal Mahkamah Agung dan lembaga Peradilan di bawahnya sendri utamanya dalam hal terbangunnya etos kerja yang baik dan kepercayaan akan sistem karir pengemban kepentingan di dalam badan peradilan itu sendiri.
Transparansi dan kredibilitas merupakan upaya masif Mahkamah Agung dalam melakukan reformasi Birokrasi di lingkungan Mahkamah Agung RI dan empat lingkungan peradilan dibawahnya. Hal tersebut diantaranya sebagaimana telah diimplementasikan dalam SK KMA No.144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi dalam Rangka Mewujudkan Akuntabilitas Penyelengaraan Peradilan, serta SK KMA RI No.1-144/KMA/SK/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan. Selain itu, transparansi dan keterbukaan informasi publik tersebut sejalan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Komisi Informasi RI No.1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik.
Sejalan hal di atas, Pengadilan Negeri Sigli saat ini terus senantiasa berupaya untuk meningkatkan kreatifitas dan inovasinya dalam rangka mengoptimalkan keterbukaan informasi publik di Pengadilan agar terciptanya pelayanan publik yang prima. Beberapa upaya peningkatan aspek keterbukaan informasi tersebut antara lain dilakukan dengan memanfaatkan website Pengadilan Negeri sebagai saranan penyampaian informasi berbasis digital, adanya inovasi-inovasi fungsi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), optimalisasi sistem informasi penulusuran perkara, pemanfaatan E-SKUM, pembayaran biaya panjar perkara melalui mesin Electronic Data Capture (EDC) di meja layanan PTSP, pemanfaatan pengaduan masyarakat melalui aplikasi Sistem Informasi Pengawasan Mahkamah Agung (SIWAS MA-RI), dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Bahwa selain hal di atas, demi mewujudkan efektifitas dan efisiensi pelayanan, Pengadilan Negeri Sigli juga telah meluncurkan program pelayanan One Day Service. Pelayanan one day service tersebut diantaranya telah diterapkan dalam pelayanan dibagian kepaniteraan Pidana, Kepaniteraan Perdata, dan Kepaniteraan Hukum. Pada Kepaniteraan Pidana, pelayanan one day service antara lain dilakukan terkait, pelimpahan perkara pidana dan penetapan hari sidang, pemberian izin penyitaan dan penggeledahan perkara pidana, dan perpanjangan penahanan oleh Penyidik dan Penuntut Umum. Pada Kepaniteraan Perdata, pelayanan one day service antara lain dilakukan terkait pendaftaran perkara gugatan biasa, gugatan sederhana, perlawanan/bantahan, verzet atas putusan verstek, perkara permohonan, permohonan banding, kasasi dan peninjauan kembali, serta layanan-layanan lain yang berhubungan dengan proses dan informasi penyelesaian perkara perdata. Sedangkan pada Kepaniteraan Hukum, pelayanan one day service antara lain dilakukan terkait permohonan pendaftaran pendirian CV, waarmaking surat-surat, pembuatan surat keterangan tidak tersangkut perkara pidana, pendaftaran surat kuasa, penanganan pengaduan/SIWAS-MARI, dan layanan-layanan lainnya yang berhubungan dengan pelayanan jasa hukum.
Bahwa dengan adanya pelayanan one day service tersebut, maka terhadap pelayanan-pelayanan publik tersebut wajib diselesaikan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang telah ditetapkan, dengan jangka waktu rata-rata maksmimalnya kurang dari satu jam sejak diajukan/dimohonkan. Pelayanan one day service pada hakikatnya dilaksanakan sebagai bentuk upaya mempermudah masyarakat, aparatur penegak hukum, dan aparat pada instansi lainnya dalam hal memperoleh persetujuan/izin penyitaan dan penggeledahan dari Pengadilan. Penerapan pelayanan one day service tersebut pula, pada dasarnya sejalan dengan arah kebijakan Ketua Mahkamah Agung dalam rangka memberikan pelayanan pada publik yang efektif dan efisien, serta prima.
Selain daripada itu, Pengadilan Negeri Sigli juga telah secara konsisten dan berkala menyampaikan informasi-informasi, yang antara lain meliputi:
- Gambaran umum Pengadilan yang, antara lain, meliputi: fungsi, tugas, yurisdiksi dan struktur organisasi Pengadilan tersebut serta telepon, faksimili, nama dan jabatan pejabat Pengadilan non Hakim;
- Gambaran umum proses beracara di Pengadilan;
- Hak-hak pencari keadilan dalam proses peradilan;
- Biaya yang berhubungan dengan proses penyelesaian perkara serta biaya hak-hak kepaniteraan sesuai dengan kewenangan, tugas dan kewajiban Pengadilan;
- Putusan dan penetapan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
- Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang belum berkekuatan hukum tetap dalam perkara-perkara tertentu;
- Agenda sidang pada Pengadilan Tingkat Pertama;
- Mekanisme pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan Hakim dan Pegawai;
- Hak masyarakat dan tata cara untuk memperoleh informasi di Pengadilan.
Seluruh hal di atas, tidak lain dilakukan demi terwujudnya visi Pengadilan Negeri Sigli untuk menjadi Badan Peradilan Indonesia Yang Agung, dan juga demi mewujudkan misinya dalam menjaga kemandirian badan peradilan, memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan, meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan, dan meningkatkan kredibiltas dan transparansi badan peradilan.
Pelayanan Publik dalam setiap Instansi atau kelembagaan Pemerintah di Negara Republik Indonesia terus ditingkatkan dan di permudah. Saat ini, Mahkamah Agung dan jajaran Pengadilan di bawahnya senantiasa berupaya menata, meningkatkan, dan menyederhanakan pelayanan publik dengan cara menerapkan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (selanjutnya disebut “PTSP”). Melalui PTSP ini Mahkamah Agung ingin memberikan pelayanan prima dalam hal pelayanan publik yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap awal sampai akhir/terbitnya sebuah dokumen dilakukan di dalam satu tempat. Wujud keseriusan Mahkamah Agung dan jajaran Pengadilan di bawahnya terhadap penerapan PTSP tersebut dilakukan dengan dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 77/DJU/SK/HM02.3/2/2018 tentang Pedoman Standar Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pada Pengadilan Tinggi Dan Pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri Sigli sebagai lembaga Peradilan di bawah Mahkamah Agung, sejak sekitar bulan Februari tahun 2018 sudah mulai menerapkan standar PTSP sesuai Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 77/DJU/SK/HM02.3/2/2018 tentang Pedoman Standar Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pada Pengadilan Tinggi Dan Pengadilan Negeri. PTSP tersebut dilakukan dengan memberikan pelayanan yang terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap awal sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan pengadilan melalui satu pintu. Penyelenggaraan PTSP ini senantiasan dilaksanakan dengan prinsip-prinsip dasar berupa keterpaduan, efektif, efisien, ekonomis, koordinasi, akuntabilitas, dan aksesibilitas. Ruang lingkup PTSP di Pengadilan Negeri Sigli ini meliputi seluruh pelayanan administrasi yang menjadi lingkup kompetensi/kewenangannya sebagaimana diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026/KMA/SK/II/2012 tanggal 9 Februari 2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan dan peraturan perundangan lainnya yang berlaku.
Penerapan PTSP sendiri tidak lain memiliki tujuan untuk: 1) Mewujudkan proses pelayanan yang cepat, mudah, transparan, terukur sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, 2) Memberikan pelayanan yang prima, akuntabel, dan anti korupsi, kolusi, nepotisme. Selain itu, aspek penting dilaksanakannya program PTSP ini merupakan wujud dari pelayanan publik yang prima dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan atau kebutuhan-kebutuhan yang diselenggarakan oleh lembaga Pengadilan terhadap seluruh masyarakat yang mencari keadilan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Secara umum Prosedur PTSP dilaksanakan melalui tahapan berikut: 1) Pemohon mengambil nomor antrian yang telah disediakan, 2) Pemohon wajib memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan untuk setiap layanan peradilan yang dimohonkan dan merupakan dasar untuk pemrosesan serta penyelesaian permohonan layanan, 3) Petugas PTSP mencatat, memverifikasi dan meneruskan kelengkapan berkas/dokumen ke backoffice untuk diproses sesuai SOP yang telah ditentukan. Khusus untuk pengadilan-pengadilan dengan jumlah perkara banyak agar menyediakan petugas verifikasi kelengkapan syarat-syarat sebelum diajukan ke meja PTSP.
Pelaksanaan program PTSP ini sangatlah diperlukan komitmen oleh seluruh Pimpinan dan Aparatur Pengadilan secara terintegrasi dalam pelaksanaanya. Oleh sebab itu dalam rangka mewujudkan keberhasilan pelaksanaan PTSP tersebut, maka haruslah terdapat kualifikasi tertentu dalam hal standarisasi pelayanan yang harus dimiliki oleh seluruh petugas PTSP, yang antara lain sebagai berikut: 1) Memahami Standar Layanan Pengadilan, prosedur administrasi maupun prosedur beracara di Pengadilan untuk setiap jenis perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri, 2) Memahami profil pengadilan seperti struktur organisasi dan persidangan, peraturan, keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, 3) Memiliki kemampuan mengoperasikan komputer, 4) Memiliki kemampuan komunikasi yang baik, bersikap sopan dan ramah, serta berpenampilan rapi.
Jakarta – Humas : Yang Mulia Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Dr. M. Hatta Ali, SH. MH. Dalam segala kesempatan dan pembinaan senantiasa menyampaikan bahwa salah satu persyaratan untuk mewujudkan Court Excellence adalah Pimpinan Pengadilan yang memiliki kualitas / kompetensi dan integritas tinggi. Oleh sebab itu proses pembinaan dan pengawasan serta seleksi Calon Pimpinan Pengadilan pada 4 lingkungan Badan Peradilan harus mendapatkan perhatian yang proporsional.
Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum, Dr. Herri Swantoro, SH. MH. Secara continue dan konsisten menyelenggarakan uji kelayakan atau Fit and Proper test bagi Calon Pimpinan Pengalilan Negeri Kelas IA dan Kelas IA Khusus berdasarkan analisis kebutuhan. Fit and proper test diselenggarakan mulai tanggal, 28 – 31 Januari 2018 dengan mendasarkan pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 48 /KMA/SK/II/2017 Tentang Pola Mutasi dan Promosi Hakim.
Dalam proses fit and proper test peserta ujian dituntut dan harus mendapat nilai layak dan lulus dari profile assessment atau psikotes dan materi ujian : a. Visi , misi , wawasan serta integritas; b. kemampuan teknis hukum ; c. administrasi dan layanan pengadilan ; d. menejerial dan kepemimpinan dan e. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Fit and Proper test diikuti oleh 45 peserta yaitu para Ketua dan mantan Ketua Pengadilan kelas I B, sementara kuota atau formasi yang tersedia sangat terbatas.
Dalam fit and proper test semua peserta wajib melalui tahap profile assessment atau psikotes yang dilakukan oleh pihak eksternal yaitu PPSDM. Menurut PPSDM, Profile Assissmen Psikologi adalah adalah kegiatan terstruktur dan sistematis untuk mengukur dan menganalisa guna mengetahui dan memahami aspek aspek Psikologi dan perilaku seseorang ( kemampuan berfikir, cara kerja, karakter, motivasi dan sejenisnya ) dan membandingkan atau mencocokan dengan persyaratan Psikologi / perilaku pada jabatan tertentu dalam hal ini jabatan Pimpinan Pengadilan Negeri Kelas IA dan IA Khusus.
Materi ujian Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dilakukan oleh Badan Pengawasan. Materi ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat ketaatan dan kepatuhan peserta terhadap prinsip : adil, jujur, arif dan bijaksana, bersikap mandiri, integritas tinggi, tanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati dan professional. Dengan menjiwai nilai atau prinsip universal dan mendasar tersebut diharapkan seorang pemimpim mampu megatakan dan melakukan perbuatan yang benar adalah benar, mampu menyampaikan sejujurnya, melaksanakan dan menerapkan hukum dengan benar sehingga dipercaya, serta memiliki kecerdasan spiritual , moral, akal.
Pada prinsipnya ujian yang sebenarnya sebagai Pimpinan Pengadilan tidak hanya pada seleksi Calon Pimpinan, melainkan pada saat menjalankan sebagai Pimpinan Pengadilan sesuai dengan formasi yang dibutuhkan. Pimpinan pengadilan dituntut untuk memiliki kecerdasan dan integritas tinggi dalam menerapkan prinsip prinsip hukum dan peraturan perundang-undangan serta juga harus memperhatikan nilai-nilai loyalitas, kearifan local / local wisdom yang didukung oleh prinsip independensi.
Menejemen dan leadership dimaksudkan untuk memperoleh informasi bahwa peserta mengerti dan memahami administrasi dan berbagai layanan yang dilakukan pengadilan, karena setelah dinyatakan lulus akan ditugaskan untuk memimpin dan mengelola Pengadilan. Seorang pemimpin yang diharapkan adalah Pemimpin yang mengerti prinsip organisasi dan menejemen. Pimpinan pengadilan harus menguasai administrasi perkara , umum, keuangan dan kepegawaian serta Teknologi Informasi.
Pemimpin yang memahami prinsip menejemen akan mampu membuat perencanaan yang baik dan relevan, baik sarana maupun prasarana, mampu menggerakkan semua pegawai atau staf untuk meningkatkan kinerja, mampu menginstruksikan dan menerapkan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan jabatan dan job description , mampu menyusun laporan, mampu melakukan pengawasan dan mengevaluasi kinerja serta memberikan contoh disiplin dan ketauladanan atau role model yang baik. Pemimpin yang baik tidak mudah mengeluh dan mohon petunjuk tetapi akan senantiasa belajar dan selalu mengutamakan prinsip kehati-hatian, baik dalam ucapan perbuatan serta dalam memutuskan segala sesuatu.
Pimpinan pengadilan merupakan pimpinan yang khas dan berbeda dengan organisasi / institusi yang lain. Pimpinan pengadilan juga dituntut menguasai dan terampil berbagai teknis yuridis dan praktek hukum yaitu : Hukum pidana umum dan khusus, perdata umum dan khusus, hukum acara pidana umum dan khusus, hukum acara perdata umum dan khusus , serta tentang konsignasi maupun eksekusi berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Citra dan wibawa Mahkamah Agung akan terwujud jika para Pimpinan memiliki kompetensi dan integritas tinggi. Semua Calon Pimpinan Pengadilan Tingkat Pertama pada semua kelas dan Pimpinan Pengadilan Tingkat Banding lingkungan Badan Peradilan Umum ditentukan melalui fit and proper test demi mewujudkan dan menjunjung tinggi obyektivitas, transparansi dan akuntabilitas.
Kalangan akademisi menilai Peraturan Mahkama Agung (PERMA) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi diperkirakan masih menimbulkan persoalan dalam praktik. Sebaliknya, kalangan aparat penegak hukum, seperti Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan mengaku optimis PERMA Kejahatan Korporasi ini pengadilan ini dapat diterapkan secara efektif.
Mantan Ketua Tim Kelompok Kerja (Pokja) MA Penyusunan PERMA Kejahatan Korporasi Prof Surya Jaya mengatakan meski sejumlah Undang-Undang (UU) sejak lama bisa menjerat korporasi yang diduga melakukan tindak pidana. Namun, selama ini aparat penegak hukum belum memiliki visi, pemahaman, dan pedoman yang sama dalam upaya menjerat korporasi jahat.
Karena itu, terbitnya PERMA Kejahatan Korporasi ini diharapkan dapat mengatasi segala kendala dan kesulitan aparat penegak hukum dalam upaya menjerat korporasi selama ini,” kata Prof Surya Jaya di ruang kerjanya, Selasa (17/1) lalu.
Dia mengaku optimis PERMA Kejahatan Korporasi ini dapat diterapkan secara efektif dalam praktik. Sebab, pengaturan PERMA Kejahatan Korporasi ini sudah cukup baik guna melengkapi peraturan yang sudah ada dalam upaya menindak korporasi jahat. “Materi PERMA ini sudah pas, jadi saya pikir tidak kendala menerapkan aturan ini. Tinggal butuh komitmen dan pemahaman yang sama saja,” kata dia.
Dia mengingatkan kehadiran PERMA Kejahatan Korporasi ini tidak melulu berorientasi pada penghukuman. Justru, terbitnya PERMA ini untuk memberi kepastian dan perlindungan hukum terhadap korporasi yang baik. Tentu, kehadiran PERMA ini sekaligus mendukung terciptanya prinsip good corporate governance.
“Kalau merasa pengelolaan korporasi itu baik, tidak perlu takut dihukum. Ini hanya guidance (pedoman) agar pengelolaan korporasi menjadi lebih baik dan bisa memberi kontribusi bagi masyarakat dan negara. Jadi, sebenarnya PERMA ini sangat baik bagi korporasi dalam upaya pencegahan,” jelasnya.
Meski begitu, bagaimanapun terhadap korporasi-korporasi “nakal” ini tetap harus dihukum sepanjang bisa dibuktikan actus reus dan mens rea pengurus korporasinya. Namun, mesti diingat bisa saja pengurus korporasi melakukan tindak pidana hanya menguntungkan kepentingan pribadinya, bukan menguntungkan korporasi, maka korporasi tidak bisa dipidana.
“Meski ada teori identifikasi, perbuatan (niat) jahat pengurus otomatis menjadi tanggung jawab korporasi sepanjang ada keterkaitan dan kepentingan korporasi. Ini kan case by case, sehingga dibutuhkan kehati-hatian dan kecermatan aparat penegak hukum untuk menentukan siapa yang sebenarnya paling bertanggung jawab.”
1. Pengantar
Sejak Tahun 2011 melalui Keputusan No. 142/KMA/SK/IX/2011 Tahun 2011, Ketua Mahkamah Agung telah memberlakukan sebuah kebijakan pemberlakuan sistem kamar pada Mahkamah Agung. Dengan sistem kamar ini hakim agung dikelompokan ke dalam lima kamar yaitu perdata, pidana, agama,tata usaha negara dan militer. Hakim agung masing-masing kamar pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar. Hakim agung kamar perdata hanya mengadili perkara perdata saja dan hakim agung kamar pidana hanya mengadili perkara pidana saja.Demikian pula hakim agung kamartata usaha negara hanya mengadili perkara tata usaha negara.Pada masa lalu sebelum sistem kamar berlaku, hakim agung lingkungan tata usaha negara juga mengadili perkara-perkara perdata atau majelis hakim agung – lazimnya terdiri atas seorang ketua dan dua orang anggota – yang kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama dapat mengadili perkara perdata. Dengan system kamar, tidak lagi diperkenankan majelis hakim agung yang kesemuanya berasal dari lingkungan peradilan agama mengadili perkara perdata, tetapi seorang hakim agung dari lingkungan peradilan agama hanya dapat menjadi anggota majelis atau ketua majelis untuk mengadili perkara perdata bersama-sama dengan dua hakim agung lain dalam kamar perdata. Mengapa hakim agung dalam kamar agama masih dibolehkan mengadili perkara perdata didasari oleh pertimbangan bahwa jumlah perkara perdata sangat besar sedangkan jumlah hakim agung dalam kamar perdata masih belum mencukupi untuk mampu mengadili perkara secara tepat waktu sehingga masih memerlukan bantuan tenaga dari kamar lain, yaitu hakim agung kamar agama yang jenis perkara yang diadili masih berdekatan dengan jenis perkara dalam kamar perdata. Demikian pula, hakim agung kamar militer dapat ditugaskan untuk mengadili perkara dalam kamar pidana karena masih terdapat kedekatan jenis perkaranya. Bantuan tenaga untuk kamar perdata dan kamar pidana dari kamar-kamar lain yang jenis perkaranya mirip masih diperlukan karena jumlah perkara kasasi perdata dan pidana yang diajukan ke Mahkamah Agung setiap tahunnya lebih tinggi daripada kamar-kamar lainnya, sehingga jumlah tunggakan perkara dapat ditekan.
Penempatan hakim agung dalam sebuah kamar didasarkan pada keahlian mereka.Keahlian antara lain dapat dilihat dari bidang studi ilmu hukum yang dikaji ketika mengambil program S2 atau S3 atau pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti. Penempatan hakim agung karir yang berasal dari lingkungan peradilan umum ke dalam kamar perdata atau kamar pidana pada dasarnya merupakan diskresi dari Ketua Mahkamah Agung Ketua Mahkamah Agung dengan melihat rekam jejak seorang hakim agung dapat menentukan kamar yang tepat dan sesuai bagi seorang hakim agung. Setiap kamar dipimpin oleh Ketua Kamar yang sebelum sistem kamar diberlakukan disebut juga sebagai Ketua Muda.Meskipun kebijakan pemberlakukan sistem kamar ini secara formal dicanangkan pada tahun 2011, implementasinya dilakukan secara bertahap.
2. Mengapa Perlu Sistem Kamar
Salah satu kritik yang dialamatkan pada Mahkamah Agung olehpara pencari keadilan pada umumnya dan para pemerhati peradilan pada khususnya adalah bahwa putusan-putusan majelis hakim agung dalam perkara-perkara kasasi atau PK yang permasalahan hukumnya sejenis atau serupa ternyata putusannya berbeda. Pada hal Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan tertinggi kehakiman yang melalui putusan-putusannya diharapkan mampu memberikan arahan atau panduan kepada pengadilan di bawahnya dalam memutus permasalahan hukum. Namun , fungsi ini tidak dapat sepenuhnya dijalankan sehingga muncul ungkapan Mahkamah Agung dengan pelbagai wajah aliran putusan dalam perkara-perkara sejenis. Permasalahan ini disadari oleh pimpinan Mahkamah Agung sehingga upaya untuk mengatasinya menjadi salah satu agenda dalam program pembaruan peradilan sebagaimana tercantum dalam “Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2014.
Terjadinya perbedaan putusan untuk perkara-perkara kasasi yang permasalahan hukumnya sejenis atau serupa dapat terjadi karena banyaknya jumlah perkara kasasi yang diajukan kepada Mahkamah Agung sehingga perkara-perkara itu harus diadili oleh beberapa majelis hakim agung. Tiap majelis hakim agung yang biasanya terdiri atas seorang ketua dan dua orang anggota majelis bekerja secara terpisah atau mandiri. Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi yang tiap perkara diadili oleh pleno hakim konstitusi sehingga keteraturan dan konsistensi relatif dapat dijaga. Oleh sebab itu, adalah alamiah jika antara satu majelis dengan majelis lainnya pada Mahkamah Agung dalam mengadili perkara-perkara yang sejenis ternyata putusannya berbeda karena praktik hukum pada dasarnya mengandalkan interpretasi terhadap norma hukum dan fakta yang terungkap dalam persidangan. Selain itu, rumusan ketentuan atau norma undang-undang yang sering ambigu sehingga menimbulkan multi interpretasi atau adanya pertentangan antar norma, atau norma yang tidak tuntas telah mendorong lahirnya pelbagai putusan di pelbagai tingkatan yang tidak mencerminkan konsistensi atau keteraturan hukum yang tentunya mengecewakan para pencari keadilan.
Meskipun perbedaan putusan hakim agung dapat terjadi karena faktor alamiah interpretasi, ketidakjelasan rumusan norma atau pertentangan antar norma dalam peraturan perundang-undangan, kenyataan ini tidak dapat dibenarkan dari sudut ilmu hukum sebab hukum yang mengatur masyarakat semestinya memiliki karakter yang sama dengan hukum fisika, yaitu mengandung sebuah keteraturan atau keajegan atau kepastian. Adalah menjadi tugas hakim untuk membuat jelas norma yang tidak jelas melalui putusan atas sebuah perkara. Hukum fisika selalu memperlihatkan adanya keteraturan dan kepastian, misalkan air jika dipanaskan pasti mendidih dan menguap atau air jika mencapai derajad terendah tertentu pasti membeku. Dimana pun dan kapan pun, air akan memperlihatkan sifat-sifat seperti itu. Hukum yang mengatur masyarakat atau perilaku subjek hukum semestinya juga memiliki sifat keteraturan, keajegan dan kepastian itu. Misalkan, jika asas hukum mengatakan bahwa setiap pembeli benda tidak bergerak yang beriktikad baik wajib memperoleh perlindungan hukum, walaupun ternyata belakangan diketahui bahwa penjual bukan pihak yang berhak atas benda yang diperjual belikan, maka semua majelis hakim dalam berbagai tingkat peradilan wajib menerapkan asas ini dalam mengadili perkara-perkara yang salah satu atau lebih pihaknya dianggap sebagai pembeli beriktikad baik. Adalah menjadi tugas majelis hakim agung untuk mengoreksi atau memperbaiki putusan hakim bawahan jika ternyata putusan hakim bawahan telah melanggar asas hukum perlindungan terhadap pembeli beriktikad baik.Sebaliknya, jika dalam sebuah perkara pembeli beriktikad baik dilindungi tetapi dalam perkara lainnya pembeli beriktikad baik tidak memperoleh perlindungan hukum, maka dalam situasi seperti ini terjadi ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, atau ketidakteraturan hukum sebaliknya yang terjadi adalah kekacauan hukum.
Di dalam tradisi “common law” keteraturan, keajegan, keadilan dan kepastian hukum dibangun dengan merujuk prinsip stare decisis yaitu “like cases should be decided alike” (perkara yang sejenis atau mirip harus diputus dengan putusan yang mirip pula). Berdasarkan prinsip stare decisis, hakim dalam mengadili sebuah perkara harus mempedomani precedent, yaitu putusan hakim yang lebih tinggi yang telah membuat putusan atas kasus yang serupa pada masa lalu. Meskipun sistem hukum Indonesia tidak menganut doktrin stare decisis tetapi terjadinya perbedaan putusan dalam perkara-perkara yang mirip atau serupa tidak dapat dibenarkan pula karena hal itu bertentangan dengan rasa keadilan, kepastian hukum dan keteraturan hukum. Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental, dikenal konsep yang disebut “legal uniformity” (kesatuan hukum). Sistem Peradilan Indonesia yang merupakan penganut sistem hukum Eropa Kontinental tentu harus pula membangun kesatuan hukum agar hukum Indonesia, khususnya praktik peradilan Indonesia menghasilkan putusan yang konsisten atau teratur sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum dapat mewujud.
3. Rapat Pleno Kamar: Forum Menyatukan Pandangan Hukum Para Hakim Agung
Sejak pemberlakuan sistem kamar pada Mahkamah Agung, masing-masing kamar secara periodik menyelenggarakan rapat pleno kamar.Rapat pleno kamar berfungsi sebagai forum bagi para hakim agung untuk membahas penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum yang belum ada kesamaan pendapat di antara para hakim agung.Di dalam rapat pleno ini, para hakim agung berdebat atau adu pendapat untuk mencapai kesatuan pendapat atau pandangan hukum tentang penyelesaian sebuah permasalahan hukum. Pada kenyataannya adalah tidak mudah bagi para hakim agung menyatukan pendapat. Ketidakmudahan untuk mencapai kesatuan pendapat bersumber dari adanya pandangan bahwa setiap majelis atau bahkan setiap hakim agung yang memeriksa dan memutus perkara pada dasarnya adalah mandiri (independent). Pandangan bahwa hakim adalah mandiri memang mengandung sebuah kebenaran dan keniscayaan, tetapi jika nilai dasar kualitas hakim itu digunakan sebagai dasar untuk penolakan upaya mencapai suatu kesatuan pendapat hukum, maka argumen itu dapat membahayakan upaya mewujudkan kesatuan hukum dalam sistem peradilan Indonesia. Kemandirian hakim mesti diartikan sebagai hakim bebas dari pengaruh lain pada waktu mengadili sebuah perkara. Sebaliknya, perdebatan dalam kamar adalah upaya mencapai kesepakatan pendapat terhadap norma yang masih kabur, penuh multi tafsir, terlalu umum perlu eloborasi, atau pertentangan norma dalam undang-undang. Misalkan, kembali kepada contoh terkait asas hukum bahwa pembeli beriktikad baik harus dilindungi, semua hakim agung atau hakim pada umumnya mengakui asas tersebut karena sudah turun temurun dikuliahkan oleh para dosen di fakultas hukum sejak dulu, tetapi persoalan yang muncul adalah pada detilnya, yaitu apakah kriteria pembeli beriktikad baik. Oleh karena itu, dalam sebuah majelis mungkin saja terdapat kesamaan pendapat dalam hal konsep umum tetapi berbeda pendapat dalam hal elaborasi atau detilnya. Rapat pleno kamar diharapkan dapat menjembatani para hakim agung untuk mencapai kesamaan pendapat tidak saja dalam hal konsep dasar tetapi juga detil atau perwujudan atau eloborasi dari konsep dasar itu. Namun demikian, kekuatan mengikat putusan kamar terhadap setiap hakim agung adalah bersifat moral dan tidak ada konsekuensi hukum apapun, sesuai Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 142/KMA/SK/IX/2011 pada angka 8: ”Putusan Rapat Pleno Kamar sedapat-dapatnya ditaati oleh majelis hakim.”
Ketidakmudahan lain untuk mempersamakan pendapat hakim agung bersumber pada putusan-putusan terdahulu yang tidak dapat diakses dengan mudah melalui website Mahkamah Agung karena tidak semua putusan-putusan terdahulu yang mengandung pandangan hukum berbeda berbeda atas permasalahan hukum yang sama telah diungguh ke dalam website atau tersedia dalam bentuk kopi lunak. Untuk mempersatukan pendapat di antara para hakim agung yang sekarang tentu diperlukan untuk membaca dan memahami “reason” dalam putusan-putusan dari majelis-majelis hakim agung terdahulu, sehingga dengan demikian hakim agung generasi sekarang dapat mengambil sikap atau pandangan atas pandangan yang berbeda di antara para pendahulu. Oleh sebab itu, keberhasilan sistem kamar perlu didukung oleh manajemen peradilan berbasis teknologi. Selain itu, teknologi informasi juga diperlukan untuk mengakses perkembangan terbaru peraturan perundang-undangan dan ringkasan karya-karya atau pandangan hukum para sarjana yang mungkin relevan digunakan untuk menjadi rujukan dalam putusan. Terlepas dari adanya tantangan-tantangan untuk mencapai kesatuan pendapat para hakim agung, sejak pemberlakuan sistem kamar, masing-masing kamar telah menghasilkan kesepakatan tentang kaidah-kaidah hukum atas sejumlah permasalahan hukum yang telah dipublikasikan oleh Sekretariat Kepaniteraan Mahkamah Agung, sehingga hakim bawahan dan masyarakat pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya dapat memahami rumusan kaidah hukum hasil rapat kamar. Fakta ini tentunya merupakan sebuah kemajuan dalam kaitan dengan upaya membangun sebuah kesatuan hukum (legal uniformity).
4. Rapat Pleno Antar Kamar
Tantangan bagi sistem peradilan Indonesia menghasilkan kesatuan hukum adalah juga bersumber pada sistem peradilan Indonesia yang mengenal lebih dari satu lingkungan peradilan. Oleh karena itu, tidak jarang permasalahan hukum yang terjadi berada pada titik singgung kewenangan mengadili antara dua lingkungan peradilan, misalkan antara peradilan umum dan peradilan agama terkait budel waris yang telah dijual atau titik singgung antara peradilan umum dan peradilan tata usaha negara terkait sengketa kepemilikan dan keputusan tata usaha negara tentang bukti kepemilikan. Untuk mengatasi permsalahan titik singgung kewenangan antar dua lingkungan peradilan ini, rapat pleno kamar diadakan.
5. Penutup
Terjadinya perbedaan putusan-putusan majelis hakim agung untuk perkara-perkara yang mengandung permasalahan hukum sejenis atau serupa merupakan hambatan bagi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. Sistem kamar merupakan upaya untuk mengatasi hambatan itu sehingga sistem peradilan Indonesia dapat mewujudkan kesatuan hukum. Kesatuan hukum diperlukan karena para pencari keadilan dalam berbagai perkara akan memperoleh penyelesaian yang serupa untuk permasalahan hukum yang serupa sehingga terdapat perlakuan sama. Agar sistem kamar dapat memenuhi fungsinya, diperlukan pula dukungan manajemen perkara yang berbasis teknologi guna mengakses putusan-putusan terdahulu serta perkembangan peraturan perundang-undangan dan ringkasan karya-karya tulis para sarjana. Satuan Kerja di bawah Mahkamah Agung, terutama Pusat Penelitian Pengembangan Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan Pelatihan Hukum dan Peradilan perlu meneliti dan mengkaji pula secara periodik untuk mengetahui sejauhmana kesatuan hukum telah dapat diwujudkan sejak pemberlakuan sistem kamar.